Senin, 26 November 2012

RPP Berkarakter Pembelajaran Puisi SMA


RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
( RPP )


Nama Sekolah               : SMA
Mata Pelajaran              : Bahasa Indonesia
Kelas/semester             : X/I
Alokasi waktu                : 2 x 45 menit
Tema                            : Keimanan
Standar Kompetensi       : Mendengarkan
Memahami puisi yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung
Kompetensi dasar        : Mengidentifikasi unsur – unsur suatu puisi yang disampaikan secara langsung atau melalui rekaman
Indikator                        :
No.
Indikator
Nilai Karakter
1.    
Menyebutkan unsur – unsur bentuk suatu puisi
Rasa ingin tahu
2.    
Mengidentifikasi (majas, rima, kata – kata berkonotasi dan bermakna lambang ) unsur bentuk puisi
Kreatif

3.    
Menanggapi unsur – unsur puisi yang ditemukan
Kreatif
4.    
Mengartikan kata – kata berkonotasi dan makna lambang
Kreatif

·         Proses
Mendengarkan rekaman pembacaan puisi , menyebutkan unsur – unsur puisi , mengidentifikasi majas, rima, kata – kata berkonotasi dan bermakna lambang (unsur bentuk puisi ), mengartikan kata – kata berkonotasi dan bermakna lambang
·         Psikomotor
Menanggapi unsur – unsur puisi yang ditemukan
·         AfektifPerilaku berkarakter
Membentuk perilaku siswa bertanggung jawab dan rasa ingin tahu
Ketrampilan sosial.
Melakukan komunikasi kepada guru dan bertanya melalui bertanya, berpendapat, dan menjawab pertanyaan, serta menumbuhkan kreatifitas siswa
Tujuan pembelajaran      :
1.         Setelah menyimak rekaman /pembacaan puisi ,siswa mampu menyebutkan unsur – unsur suatu puisi secara tepat,
2.         Setelah menyimak rekaman/ pembacaan puisi , siswa mampumengidentifikasi majas, rima, kata – kata berkonotasi dan bermakna lambang (unsur bentuk puisi ) secara tepat,
3.         Setelah menyimak rekaman/pembacaan puisi,siswa mampu mengartikan kata – kata berkonotasi dan bermakna lambang,
4.         Setelah berdiskusi ,siswa mampu menanggapi unsur puisi yang ditemukan teman secara tepat.
Proses
1.    Diberikan rekaman /pembacaan puisi ,siswa mampu menyebutkan unsur – unsur suatu puisi secara tepat,
2.     Diberikan materi unsur – unsur puisi , siswa mampu mengidentifikasi majas, rima, kata – kata berkonotasi dan bermakna lambang (unsur bentuk puisi ) secara tepat,
3.     Diberikan rekaman/pembacaan puisi,siswa mampu mengartikan kata – kata berkonotasi dan bermakna lambang,
Kinerja proses
Melalui kegiatan diskusisiswa mampu menanggapi unsur puisi yang ditemukan teman secara tepat.
Afektif
Perilaku karakter
Terlibat dalam KBM yang berpusat pada siswa, siswa dapat menunjukkan tanggung jawab, jujur, membantu teman minimal dinilai membuat kemajuan dengan LP 5 : Format Pengamatan perilaku berkarakter.
Ketrampilan Sosial
Dalam KBM, siswa mampu berkomunikasi kepada guru dan temannya melalui bertanya dan berdiskusi , berpendapat,  menjawab pertanyaan dan mengidentifikasi unsur – unsur puisi secara benar.
Materi                          :
Puisi
A.      Pengertian Puisi
Secara etimologi ,kata puisi berasal dari bahasa Yunani”poesis” yang artinya penciptaan. Sedangkan secara terminologi , menurut Samuel taylor Coleridge puisi adalah kata – kata terindah denga susunan terindah. Penyair memilih kata – kata yang setepatnya dan disusun sebaik – baiknya,missal seimbang ,simetris antara unsur satu dengan unsur yang lain erat beerhubungan.
B.        Unsur – unsur puisi
Puisi merupakan hasil kepaduan beberapa unsur penyusun yang membuat karya tersebut disebut puisi. Menurut Waluyo (1991:4) puisi dibangun oleh dua unsur pokok yaitu: struktur fisik yang berupa bahasa, dan struktur batin atau struktur makna.
a. Struktur Fisik Puisi
Struktur fisik puisi atau struktur kebahasaan puisi disebut juga metode puisi. Medium pengucapan maksud yang hendak disampaikan penyair adalah bahasa.
• Diksi
Diksi atau pilihan kata adalah pemilihan kata oleh penulis untuk menyatakan maksud (Keraf dalam Wahyudi 1989: 242). Pemilihan kata dilakukan untuk mendapatkan kata yang tepat berdasarkan seleksi bentuk, sinonim, dan rangkaian kata.
Kata-kata dalam puisi memiliki peranan yang sangat besar. Kekuatan sebuah puisi terletak pada kata-kata yang digunakan. Keberhasilan sebuah puisi pun terletak pada pilihan kata yang digunakan. Maka dari itu pilihan kata dalam puisi harus benar-benar kata yang mewakili apa yang dirasakan oleh penulisnya agar pembaca dapat merasakan apa yang dirasakan oleh penulis puisi tersebut.
• Pengimajian
Pengimajian atau daya bayang adalah kemampuan menciptakan citra atau bayangan dalam benak pembaca. Dengan daya bayang, puisi tidak hanya digunakan sebagai sarana memberitahukan apa yang dialami atau dirasakan penulis saja, melainkan juga sebagai alat merasakan apa yang dirasakan, melihat apa yang dilihat, dan mendengar segala sesuatu yang didengar oleh penulis. Daya bayang dapat penulis ciptakan dengan menempuh beberapa cara yang di antaranya (1) penggunaan kata-kata kias, (2) penggunaan lambang-lambang, dan (3) penggunaan pigura-pigura bahasa, seperti metafora, metonimia, personifikasi, dan sebagainya. Contoh daya bayang dalam puisi.

AKU
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulanya terbuang
……………………………..

Chairil Anwar

Penggunaan kata-kata kias dalam puisi”Aku” terlihat pada “Aku ini binatang jalang” yang bermaksud “pemberontak” dan “Dari kumpulanya terbuang” untuk mengiaskan “tidak mau mengikuti aturan umum”. Kata kias yang digunakan memiliki pengaruh yang amat kuat karena di balik kata-kata itu terkandung makna yang jelas yang gampang ditangkap oleh pancaindra.

TERATAI
Kepada Ki Hajar Dewantara

Dalam kebun tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai;
Tersembunyi kembang indah permai.
Tak terlihat orang yang lalu.
Akarnya tumbuh di hati dunia,
……………………………………………..

Sanusi Pane

Puisi “ Teratai” tersebut adalah contoh penggunaan lambang dalam penulisan puisi. Bunga teratai yang menjadi ibarat dari Ki Hajar Dewantara (Suharianto: 2005).
Menurut Jabrohim dkk (2003:36) hal-hal yang berkaitan dengan citra ataupun citraan disebut pencitraan atau pengimajian. Pengimajian digunakan untuk memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat hidup (lebih hidup) gambaran dalam pikiran dan pengindraan, untuk menarik perhatian, untuk memberikan kesan mental, atau bayangan visual penyair menggunakan gambaran-gambaran angan.
Pencitraan atau pengimajian dapat dikelompokkan menjadi tujuh macam, yaitu (1) citraan penglihatan, yang dihasilkan dengan memberi rangsangan indra penglihatan, yang dihasilkan dengan memberi rangsangan indra penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat seolah-olah kelihatan, (2) citraan pendengaran yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara atau berupa onomatope dan persajakan yang berturut-turut, (3) citraan penciuman, (4) citraan pencecapan, (5) citraan rabaan, yakni citraan yang berupa rangsangan-rangsangan kepada perasaan atau sentuhan, (6) citraan pikiran/intelektual, yakni citraan yang dihasilkan oleh asosiasi pikiran, (7) citraan gerak, dihasilkan dengan cara menghidupkan dan memvisualkan sesuatu hal yang tidak bergerak menjadi bergerak (Jabrohim dkk 2003:39).

• Bahasa Figuratif atau Kiasan
Bahasa figuratif pada dasarnya adalah bentuk penyimpangan dari bahasa normatif, baik dari segi makna maupun rangkaian katanya, dan bertujuan untuk mencapai arti dan efek tertentu (Jabrohim dkk 2003:42). Pencapaian arti atau efek tertentu tergantung jenis kiasan yang digunakan.
1. Simile
Simile adalah jenis bahasa figuratif yang menyamakan satu hal dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama (Jabrohim dkk 2003:44). Sebagai sarana dalam upaya menyamakan hal yang berlainan tersebut simile menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, seperti, sebagai, bak, seumpama, laksana, serupa, sepantun, dan sebagainya.

2. Metafora
Metafora adalah bentuk bahasa figuratif yang memperbandingkan sesuatu hal dengan hal lainnya yang pada dasarnya tidak serupa secara laangsung tanpa kata pembanding(Jabrohim dkk 2003:45).

4. Personifikasi
Menurut Baribin (1990:50) personifikasi ialah mempersamakan benda dengan manusia, hal ini menyebabkan lukisan menjadi hidup, berperan menjadi lebih jelas, dan memberikan bayangan angan yang konkret. Contoh: “awan pun terdiam”.

5. Metonimi
Metonimi adalah pemindahan istilah atau nama suatu hal atau benda ke suatu hal atau benda lainnya yang mempunyai kaitan rapat (Jabrohim dkk 2003:51). Menurut Alternbornd (dalam Baribin 1990:50) metonimia, ialah penggunaan sebuah atribut dari suatu objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Metonimi juga sering disebut dengan bahasa kiasan pengganti nama. Misalnya: “senja kian berlalu”. Senja artinya maut atau kesusahan.
6. Sinekdok
Sinekdoki adalah bahasa figuratif yang menyebutkan suatu bagian penting dari suatu benda atau hal untuk benda atau hal itu sendiri (Jabrohim dkk 2003: 52). Menurut Baribin (1990:50) sinekdoki ada dua macam, yakni (1) pars pro toto, yaitu sebagian untuk keseluruhan; (2) totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian. Contoh pars pro toto: “Tidakkah siapapun lahir kembali di detik begini” dan “hatimu yang mendengar semesta dunia”. Contoh totum pro parte: “Sampai engkau bangkit dan seluruh pulau mendengarkan”.

• Versifikasi atau Rima dan Irama
Bunyi dalam puisi menghasilkan versifikasi atau ritma dan rima. Secara umum ritma dikenal sebagai irama atau wirama, yakni pengertian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur (Jabrohim dkk 2003: 53).Rima adalah istilah lain dari persajakan atau persamaan bunyi, sedangkan irama sering juga disebut dengan ritme atau tinggi rendah, panjang pendek, keras lembut, atau cepat dan lambatnya kata atau baris-baris suatu puisi bila puisi tersebut dibaca. Rima dan irama ini memiliki peran yang sangat penting karena keduanya sangat berkaitan dengan nada dan suasana puisi (Suharianto 2005: 45-49). Contoh penggunaan rima dan irama dalam puisi:

MINANG

Inilah tanah, di mana Sabai dilahirkan
Di mana Malin, si Durhaka, menerima kutukan
di mana kaba ialah sebagian dari kehidupan
dan beragam pantun mengalun dalam kesunyian

Sepi di sini sepi batu dan sepi gunung
Sepi hutan-hutan hijau melingkung
padang-padang lalang sejauh mata merenung
di atasnya mengambang rawan suara lesung
…………………………………………….

(Hartoyo Andang jaya)

Dari contoh puisi tersebut terlihat bagaimana rima dan irama merupakan unsur yang sangat berperan dalam menghidupkan suatu puisi. Dengan rima dan irama yang terdapat dalam puisi tersebut, nada dan suasana yang hendak digambarkan penyair menjadi lebih nyata dan lebih mudah dibayangkan oleh pembacanya.
Berdasarkan jenisnya, rima dibedakan atas tiga macam:
1. Berdasarkan bunyinya, terbagi atas asonansi (rima karena persamaan vokal) dan aliterasi (rima karena persamaan konsonan),
2. Berdasarkan letakdalam kata, rima terbagi atas rima mutlak (seluruh vokal dan konsonan sama), rima sempurna (salah satu suku katanya sama), dan rima tak sempurna (bila dalam salah satu suku kata hanya vokal atau konsonan saja yang sama),
3. Berdasarkan letaknya dalam baris, rima terbagi atas rima awal (terdapat pada awal baris), rima tengah, rima horisontal (terdapat pada baris yang sama), dan rima vertikal (terdapat pada baris yang berlainan), rima rangkai,rima peluk,rima kembar, rima silang,rima patah.
Rima / sajak
1.    Rima berdasarkan letak dalam kata
a.       Rima sempurna (penuh)
Dinamakan rima penuh, bila seluruh suku akhir sama bunyinya.
Misalnya:    Jati bersajak dengan hati
                  Lantai bersajak dengan pantai
b.       Rima tak sempurna
Dinamakan sajak tak sempurna bila yang sama bunyinya hanya sebagaian suku akhir atau huruf akhir saja
Misalnya :   palang bersajak dengan datang
                  Padi bersajak dengan mati
c.       Rima mutlak
Dinamakan rima mutlak, bila yang sama bunyinya satu kata penuh
Misalnya :   Mendatang-datang jua
                  kenangan masa lampau
                  Menghilang-hilang jua
                  Yang dulu sinau-silau
2.         Rima berdasarkan bunyi
a.       Sajak terbuka
Dinamakan sajak terbuka, bila kata bersajak itu berakhir vocal yang sama.
Misalnya:    batu bersajak dengan rindu
                  Buka bersajak dengan suka
b.       Sajak tertutup
Dinamakan sajak tertutup, bila kata yang bersajak itu berakhir konsonan yang sama.
Misalnya :   hilang bersajak dengan datang
                  Susut bersajak dengan takut
c.       Sajak alterasi (s. pangkal atau s. awal)
Dinamakan sajak alterasi, bila yang sama bunyinya suku awal.
Misalnya :   lalu bersajak dengan lalang
                  Warna bersajak dengan warta
                  Lenggang bersajak dengan lenggok
d.       Sajak asonasi
Dinamakan sajak asonasi, bila yang bersajak ialah huruf hidup (vocal) yang menjadi kerangka bunyi kata itu.
Misalnya :   secupak bersajak dengan sesukat
                  Tumbang bersajak dengan mundam
e.       Sajak disonasi
Dinamakan sajak disonasi, bila yang bersajak itu huruf mati (konsonan) yang menjadi kerangka kata itu.
Misalnya :   tindak bersajak dengan tanduk
                  Compang bersajak dengan camping
3.    Rima berdasarkan letak dalam baris:
a.         Sajak awal
Dinamakan sajak awal, bila kata-kata yang bersajak itu terdapat pada awal kalimat.
b.         Sajak tengah
Dinamakn sajak tengah, bila kata-kata yang bersajak itu terdapat pada tengah kalimat.
c.         Sajak akhir
Dinamakan sajak akhir, bila kata-kata yang bersajak itu terdapat pada akhir kalimat.
Contoh berikut memperlihatkan ke-3 macam sajak (s.awal, s. tengah, s. akhir) sekaligus:
       Dari mana punai melayang
       Dari sawah turun ke kali
       Dari mana kasih sayang
       Dari mata turun ke hati
d.         Sajak peluk (sajak berpaut)
Dinamkan sajak peluk, bila umpamanya puisi itu terdiri atas 4 baris, maka baris ke-1 bersajak dengan baris ke-4, sedang baris ke-2 bersajak dengan baris ke-3.
Dengan rumus sajak
1.         …………………….. (a)
2.         …………………….. (b)
3.         …………………….. (b)
4.         …………………….. (a)
e.         Sajak silang (sajak salib)
Dinamakan sajak silang kalau letak sajaknya bersilang-silang
Dengan rumus sajak
1.         …………………….. (a)
f.           Sajak rangkai (sajak sama)
Dinamkan sajak rangkai (sama), bila kata-kata pada akhir baris yang beruntun itu sana bunyinya.
1.         …………………….. (a)
2.         …………………….. (a)
3.         …………………….. (a)
4.         …………………….. (a)
2.         …………………….. (b)
3.         …………………….. (a)
4.         …………………….. (b)
g.         Sajak kembar
Dinamakan sajak kembar, bila yang bersajak itu dua baris dua baris.
1.         …………………….. (a)
2.         …………………….. (a)
3.         …………………….. (b)
4.         …………………….. (b)
h.         Sajak patah
Dinamakn sajak patah, bila dalam bait puisi itu ada kata yang tidak mempunyai pasangan/persamaan bunyi dengan lain.
1.         …………………….. (a)                     …………………….. (a)
2.         …………………….. (a)                     …………………….. (b)
3.         …………………….. (b)         atau      …………………….. (a)
4.         …………………….. (a)                     …………………….. (a)

• Tipografi
Tipografi adalah cara penulisan suatu puisi sehingga menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual (Aminuddin 2002: 146).Tipografi merupakan bentuk fisik atau penyusunan baris-baris dalam puisi.
Peranan tipografi dalam puisi adalah untuk menampilkan aspek artistik visual dan untuk menciptakan nuansa makna tertentu.Selain itu, tipografi juga berperan untuk menunjukan adanya loncatan gagasan serta memperjelas adanya satuan-satuan makna tertentu yang ingin dikemukakan penyair.

Struktur Batin Puisi
Menurut Waluyo dalam Jabrohim dkk (2003:65) struktur batin mencakup tema, perasaan penyair, nada atau sikap penyair terhadap pembaca, dan amanat.
• Tema
Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran pengarang (Jabrohim dkk 2003:65).Menurut Waluyo (2003:17) tema adalah gagasan pokok (subject-matter) yang dikemukakan penyair melalui puisinya.Semua karya terkhusus karya sastra pasti memiliki tema yang merupakan pokok permasalahan yang diangkat dalam menulis karya sastra itu.
• Perasaan (Feeling)
Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya (Aminuddin 2002:150).Sikap tersebut adalah sikap yang ditampilkan dari perasaan penyair, misalnya sikap simpati, antipati, senang, tidak senang, rasa benci, rindu, dan sebagainya.
• Nada dan Suasana
Sikap penyair kepada pembaca disebut nada puisi, sedangkan keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi atau akibat yang ditimbulkan puisi terhadap perasaan pembaca disebut suasana. Nada mengungkapkan sikap penyair, dari sikap itu terciptalah suasana puisi.Ada puisi yang bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius (sungguh-sungguh), patriotik, belas kasih (memelas), mencemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya (Waluyo 2009:37).
• Amanat
Amanat atau tujuan adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya.Amanat dapat ditemukan setelah mengetahui tema, perasaan, nada, dan suasana puisi. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan (Jabrohim dkk 2003:67).
Sedangkan menurut Waluyo (2003:40) amanat, pesan atau nasehat merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi.Cara pembaca menyimpulkan amanat puisi sangat berkaitan dengan pandangan pembaca terhadap suatu hal.
Amanat berbeda dengan tema.Dalam puisi, tema berkaitan dengan arti, sedangkan amanat berkaitan dengan makna karya sastra (Jabrohim dkk 2003:67). Arti dalam puisi bersifat lugas, objektif dan khusus, sedangkan makna puisi bersifat kias, objektif, dan umum.

BAB III PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK CERITA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL SISWA KELAS X RSBI 7 SMA NEGERI I KEDIRI TAHUN 2011/2012


BAB III
           METODOLOGI PENELITIAN
A.      Rancangan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, maka rancangan  penelitian yang dipergunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian yang berbasis kelas atau sekolah untuk melakukan pemecahan berbagai permasalahan yang digunakan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999:1-2).
 Menurut Sukarnyana (2002:11), Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah satu cara yang strategis bagi guru untuk meningkatkan layanan pendidikan melalui penyempurnaan praktik pembelajaran di kelas.  Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini menggunakan model kolaborasi yang mengutamakan kerjasama antara kepala sekolah, guru dan peneliti. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini merupakan upaya untuk mengkaji apa yang terjadi dan telah dihasilkan atau belum tuntas pada langkah upaya sebelumnya. Hasil refleksi digunakan untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam upaya mencapai tujuan penelitian. Dengan kata lain refleksi merupakan pengkajian terhadap keberhasilan atau kegagalan terhadap pencapaian tujuan tindakan pembelajaran.
Pada dasarnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK) memiliki karakteristik yaitu: (1) bersifat situasional, artinya mencoba mendiagnosis masalah dalam konteks tertentu, dan berupaya menyelesaikannya dalam konteks itu; (2) adanya kolaborasi-partisipatoris; (3) self-evaluative, yaitu modifikasi-modifikasi yang dilakukan secara kontinyu – dievaluasi dalam situasi yang terus berjalan secara siklus, dengan tujuan adanya peningkatan dalam praktek nyatanya.
Adapun rancangan (desain) Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model Kemmis & Taggart. Rancangan Kemmis & Taggart dapat mencakup sejumlah siklus, masing-masing terdiri dari tahap-tahap: perencanaan (plan), pelaksanaan dan pengamatan (act & observe), dan refleksi (reflect). Tahapan-tahapan ini berlangsung secara berulang-ulang, sampai tujuan penelitian tercapai. Alur (langkah) pelaksanaan tindakan dimaksud dapat dilihat pada gambar berikut.
B.    Setting dan Karakteristik Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelas X RSBI 7 SMA Negeri I Kediri pada semester 1 tahun pelajaran 2011/2012. Jumlah siswa di kelas terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 17  siswa perempuan. Sedangkan siswa di kelas tersebut memiliki karakteristik yang sama seperti di kelas-kelas yang lain, artinya tingkat kemampuan/prestasi belajar cenderung sama dengan kemampuan/prestasi kelas lainnya.

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK CERITA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL SISWA KELAS X RSBI 7 SMA NEGERI I KEDIRI TAHUN 2011/2012


BAB II
TINJAUAN PUSATAKA DAN KERANGKA TEORI

A.       Pengajaran Cerita Pendek
Pada kenyataannya sastra telah diajarkan kepada siswa untuk seluruh jenjang pendidikan selama ini. Namun disinyalir bahwa pembelajaran sastra belum mencapai hasil yang optimal. Pembelajaran sastra perlu dikembangkan karena pembelajaran tersebut didukung oleh aspek pertimbangan psikologis. Menurut Mulyana (2000:4) peserta didik memiliki pengetahuan dan keingintahuan yang sangat besar. Dengan pengetahuan yang dimiliki, mereka dapat memperoleh kenikmatan dan intelektual dari sebuah karya sastra. Kebutuhan akan pencarian makna estetis dan makna intelektual berkorelasi positif dengan kebutuhan mereka dalam mengembangkan kematangan intelektual dan emosionalnya. Oleh karena itu, Rudy (2003:297) menegaskan bahwa sastra dapat menjadi wahana pencarian makna apabila diajarkan dengan benar.
Pengajaran sastra yang baik dan benar adalah pengajaran yang mengadopsi perspektif estetik dan memberi penekanan pada sudut pandang tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Rosenblatt berikut, “To teach literature correctly is to emphasize the aesthetic stance and to de-emphasize the efferent.” (1978:22-47). Pernyataan tersebut mengindikasikan makna yang signifikan bahwa siswa tidak hanya mengidentifikasi apa yang tertuang dalam karya sastra seperti latar, tokoh dan penokohan, serta alur cerita, tetapi mereka juga dapat mengidentifikasi apa yang ada di luar karya sastra itu sendiri seperti maksud pengarang, simbolisme, gaya cerita dan sebagainya.
Sayangnya, pengajaran sastra di sekolah menengah lebih menekankan sudut pandang efferent; siswa hanya menceritakan kembali kisah perjalanan tokoh cerita dengan segudang permasalahannya. Selanjutnya, perlu dicermati dan ditelusuri perjalanan dan kiprah pengajaran sastra di tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Rudy (2003:298) menandaskan, “Sastra telah diperlakukan secara ‘kurang adil’ di berbagai jenjang pendidikan.” Keprihatinan Rudy muncul bersamaan dengan asumsi yang memposisikan sastra semakin terpojokkan bahwa sastra hanya merupakan pelajaran hafalan untuk beroleh kesenangan, bahwa sastra tidak mampu meningkatkan kompetensi berbahasa siswa. Selain itu, banyak sastrawan yang turut prihatin dengan ketidakmampuan siswa mengapresiasi karya sastra.
Keprihatinan tersebut mereka atasi dengan melakukan kegiatan “Sastrawan ke Sekolah” pada tahun 2006. Demikian halnya dengan pengajaran sastra Inggris di jurusan bahasa Inggris, sangat diabaikan dan dihindari karena kedua asumsi di atas (Zughoul, 1986; Rosenblatt, 1991). Kekurangadilan bagi pengajaran sastra sebagaimana diilustrasikan oleh Moody (1977) adalah sastra menempati kedudukan yang sangat kecil dalam pendidikan bahasa. Keberadaan sastra dalam pendidikan bahasa berdasarkan hasil penelitian Harras (2003:303) belum menyentuh substansi dan mengusung misi utamanya yaitu memberikan pengalaman bersastra kepada peserta didik karena porsi pengajaran sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa. Oleh karena itu, pengajaran sastra harus dipisahkan dari pengajaran bahasa. Pemisahan sastra dari pembelajaran bahasa ditentang oleh Alwasilah (2002) bahwa bahasa dan sastra bukan sebuah dikotomi. Sebagai perbandingan, ia menggambarkan bahwa sastra berada dalam naungan bahasa (language arts) di mancanegara. Dengan demikian, tidak ada argumentasi yang menguatkan temuan Harras bahwa sastra harus dipisahkan dari pengajaran bahasa (Moody, 1977; Rusyana, 2003; Rudy, 2005).
Porsi pengajaran sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa tidak harus menjadi sebuah masalah yang mendasar. Perlu disepakati bersama bahwa permasalahan pokok dalam pembelajaran sastra adalah “teacher as the actor, not the song.” Hal ini tergambar dengan jelas berdasarkan beberapa temuan dan pendapat berikut: pengetahuan guru tentang sastra sangat terbatas (Alwasilah, 1994), sastra diajarkan guru-guru yang tidak profesional (Alwasilah, 1999), guru tidak tahu mengajarkan sastra dengan baik (Wei, 1999) dan guru dan strategi mengajar mereka penyebab rendahnya mutu pengajaran sastra (Mansour, 1999). Pendapat Alwasilah tentang sastra diajarkan oleh guru-guru yang tidak profesional berseberangan dengan temuan Rudy (2005) bahwa sastra dapat diajarkan oleh semua guru bahasa karena komponen terpenting dalam apresiasi sastra adalah strategi mengajar dan mengapresiasinya. Dengan demikian, kesepakatan awal tentang guru yang menjadi masalah utama, bukan karya sastra, pun karena guru belum mengetahui cara mengajarkan sastra dan apresiasinya.
Kualitas pengajaran sastra sejauh ini masih sering dipertanyakan dan diragukan. Kondisi itu diperkirakan oleh adanya kurikulum yang sering berganti-ganti dan alokasi waktu yang dituding sebagai penyebab rendahnya kualitas pengajaran sastra. Bertentangan dengan penafsiran tersebut, berdasarkan fakta empirik yang ditemukan Ismail (2000:115) penyebab dari hal itu adalah metodologi pengajaran sastra yang tidak efisien. Kondisi demikian dipertegas lagi oleh Rosidi (1983:130) bahwa kualitas pembelajaran sastra masih sangat memprihatinkan diindikasikan oleh pengajaran sastra yang seadanya. Penyebabnya adalah kurikulum yang tak jelas arahnya, jumlah pengajar dan kemampuannya tidak memadai, dan materi pengajaran yang jauh dari lengkap. Kedua sastrawan tersebut merupakan stereotipe yang representatif mengeluhkan buruknya pengajaran bahasa dan sastra di seluruh jenjang pendidikan.
Harapan untuk mewujudkan pembelajaran sastra yang estetik terinspirasi dari temuan Ismail (2000) bahwa siswa SMU di Indonesia membaca 0 (nol) karya sastra dan termotivasi berdasarkan data empiris dalam Pikiran Rakyat (2000) bahwa keterampilan menulis siswa Indonesia paling rendah di Asia. Kenyataan di atas didukung oleh hasil observasi Alwasilah (1998) bahwa kaum intelektual rendah mutunya dalam menulis. Untuk itulah sastra perlu diperkenalkan kepada siswa sedini mungkin. Kebiasaan membaca dan mengapresiasi karya sastra dapat menjadikan langkah awal siswa untuk gemar membaca. Ini berarti bahwa salah satu keterampilan berbahasa mulai tumbuh dalam diri siswa. Seiring dengan pertumbuhan kegiatan tersebut, guru dapat meneruskan kegiatan lainnya, yaitu mengapresiasi cerita yang telah dibaca siswa.
Kegiatan mengapresiasi dapat melibatkan kompetensi berbahasa lainnya. Setelah membaca, guru dapat meminta siswa menuliskan kembali (meringkas) cerita dan menuliskan pemeran cerita, karakterisasi, latar cerita. Menurut Rusyana (2003:4) menulis merupakan salah satu kompetensi dalam pembelajaran sastra untuk beroleh kemampuan berekspresi sastra. Ia menyebutkan menulis puisi, cerita pendek, dialog, dongeng dan drama singkat sebagai contoh kegiatan menulis yang dapat dilakukan siswa. Untuk mewujudkan kegiatan tersebut, guru harus menjelaskan bagaimana melibatkan perasaan siswa terhadap tokoh cerita yang dibaca oleh siswa dan bagaimana menghubungkan segala unsur yang ada dalam cerita dengan kehidupan sosial, budaya, dan agama yang dianut oleh mereka.
Perspektif sosial dan budaya dalam mengidentifikasi karya sastra dikemukakan oleh Beach dan Marshall (1991), sedangkan perspektif religi oleh Moody (1970). Cox dan Many (1992:28) mencontohkan Winke, 11 tahun, dapat merespons buku yang baru saja dibacanya A Proud Taste for Scarlet and Miniver, sebuah karya besar berdasarkan kehidupan Eleanor of Aquitaine. Winke merespons isi buku tersebut dengan cara menceritakan kembali apa yang telah dibacanya, mengaitkan hal-hal pokok dalam cerita sesuai dengan perasaan dan pengalamannya. Kemudian ia hubungkan cerita itu dengan buku cerita lain yang pernah dibacanya atau film yang pernah ditontonnya. Pada akhirnya, ia dihadapkan pada keyakinannya tentang apa yang telah dibaca sebagai hasil membaca. Ilustrasi ini mengindikasikan bahwa keterampilan menulis siswa dapat dikembangkan sejak kecil dengan cara merespons karya sastra. Sejalan dengan ilustrasi tersebut, Beach (1990:74) mengungkapkan bahwa kualitas respons siswa dapat ditingkatkan oleh guru. Respons tersebut dapat mengembangkan kemampuan berbahasa karena para siswa menulis secara bebas, menghubungkan respons mereka, mengaitkan tindakan mereka dengan karya yang dibaca serta berbagi pengalaman tentang respons mereka.
Makalah ini membahas pengajaran apresiasi sastra Indonesia dengan mengedepankan respons pembaca dan respons simbol visual sebagai paradima baru yang mampu mengolaborasikan dua respons yang berbeda tersebut untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Makalah ini juga mengelaborasi berbagai hasil penelitian tentang respons pembaca dan respons simbol visual di seluruh tingkat pendidikan.

BAB I PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK CERITA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL SISWA KELAS X RSBI 7 SMA NEGERI I KEDIRI TAHUN 2011/2012 (PTK)


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses perubahan yang terjadi pada diri siswa sebagai hasil dari sejumlah pengalaman yang ditempuh, baik bersifat pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Karena belajar merupakan suatu proses perubahan pada diri seseorang, maka belajar hanya akan terjadi apabila siswa memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk berubah sesuai dengan potensi dan kemampuannya. Sedangkan peranan guru dengan otoritasnya terbatas pada upaya perancangan suatu kondisi yang memungkinkan siswa untuk belajar, dengan berbagai prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab profesi yang dimilikinya (Sukmara, 2005:54).
Hal di atas sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam Bab II pasal 3 Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003:8).
Penulis menggarisbawahi kata ‘berkembangnya’ pada tujuan pendidikan nasional tersebut. Secara semantik kata ‘berkembangnya’ berbeda dengan kata ‘mengembangkan’. Kalau digunakan kelompok kata untuk ‘mengembangkan potensi peserta didik’ berarti penekanannya pada guru/pendidik yang harus lebih aktif berperan dalam pembelajaran. Sedangkan penggunaan kelompok kata ‘berkembangnya potensi peserta didik’ lebih menekankan pada suatu kondisi yang difasilitasi guru agar peserta didik dapat mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
Dalam pengembangan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, kegiatan belajar siswa sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
1) Memberikan peluang bagi siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan sendiri pengetahuan dibawah bimbingan guru atau orang dewasa.
2) Merupakan pola yang mencerminkan ciri khas dalam pengembangan keterampilan mata pelajaran yang bersangkutan.
3) Disesuaikan dengan ragam sumber belajar yang tersedia.
4) Bervariasi dengan mengombinasikan antara kegiatan belajar perorangan, pasangan, kelompok, dan klasikal.
5) Memperhatikan pelayanan terhadap perbedaan individual siswa.
Pembelajaran sastra terutama apresiasi sastra di sekolah bukanlah bertujuan untuk membuat para siswa menjadi sastrawan, melainkan lebih bertujuan untuk membuat mereka mencintai karya sastra bangsanya, mampu memberikan penilaian terhadap karya sastra yang dibacanya dan memanfaatkan karya sastra dalam bidang kehidupan mereka masing-masing.
Karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya, mengandung nilai pendidikan, sosial, kemasyarakatan, psikologis, agama dan sebagainya. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra sulit ditemukan, oleh karena itu perlu diadakan kegiatan analisis. Anton M. Moeliono(1993:37) berpendapat bahwa analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Sejalan dengan pendapat di atas, Jakob Sumardjo(1994:3) menyatakan bahwa bahasa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sastra adalah bentuk rekaman bahasa yang akan disampaikan pada orang lain. Untuk memahami suatu karya sastra tidaklah mudah, banyak segi yang harus dianalisis baik dari unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsiknya.
Sebenarnya para guru sangat beruntung karena mutu dan jenis prosa/cerita ini jumlahnya cukup banyak. Cerpen misalnya, dengan mudah dapat ditemukan dan dipilih yang sesuai dengan tingkat kebahasaan dan disukai oleh siswa. Cerpen memungkinkan seorang siswa hanyut dalam keasyikan membacanya. Sekarang ini banyak cerpen yang sesuai dengan minat dan tingkat kemampuan intelektual anak. Cerpen-cerpen ini jelas dapat dijadikan sarana pendukung untuk memperkaya bacaan dan dapat dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMA.
Meskipun demikian, dalam melaksanakan tugas di lapangan penulis mendapat beberapa permasalahan, yaitu:
1) Banyaknya siswa yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal(KKM), terutama dalam pembelajaran sastra;
2) Rendahnya partisipasi siswa yang aktif dalam pembelajaran sastra;
3) Rendahnya penguasaan siswa terhadap materi prasyarat pembelajaran sastra;
4) Rendahnya kemampuan guru dalam memvariasikan model dan media pembelajaran sastra.
5) Fokus pembelajaran ada pada guru, sedangkan siswa hanya menerima apa-apa yang diberikan guru tanpa melalui aktivitas dan partisipasi yang berarti.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti proses pembelajaran apresiasi sastra di kelas X SMA terutama mengenai peningkatan kemampuan siswa dalam menganalisis unsur  cerita yang disampaikan secara langsung/melalui rekaman melalui pendekatan kontekstual dengan menggunakan model pembelajaran Course Review Horay.

Minggu, 18 November 2012

IMBUHAN (AFIKS)


Imbuhan atau afiks adalah bentuk morfem terikat yang melekat pada salah satu kata, baik kata dasar ataupun kata jadian. Imbuhan berperan dalam proses pembentukan kata dasar menjadi kata jadian.
Di bawah ini terdapat beberapa penjelasan tentang imbuhan. 

1. Jenis afiks menurut tempatnya: 

a.  awalan/ prefiks: meng, ber, ter, ke, peng, per, dan seterusnya.
b.  akhiran/ sufiks: -an, -kan, -i
c.  sisipan/ infiks: ke-an, per-an, peng-an, dan seterusnya.
d.  konfiks 

2. Jenis afiks menurut penggunaannya: 

1.  Afiks produktif: yaitu afiks yang memiliki frekuensi pemakaian yang tinggi.
Contoh: se-, meng-, ber-, peng-, per-, dan seterusnya.
2.  Afiks tak produktif: yaitu afiks yang frekuensi pemakaiannya tidak tinggi.
Contoh: -em, -el, -er, -wati, -is, -nda, dan seterusnya.
3.  Afiks asing/ afiks serapan:
a. Akhiran dari bahasa Sansekerta: -wan, -wati, -man
b. Akhiran dari bahasa Arab: -i, -wi, -in, -at, -ah
c. Akhiran dari bahasa Barat:-isme, -tas, -ika, -logi, -is, (asi), dsb (kata benda), -al, -or, -if, -is, dsb.

3. Makna imbuhan

Makna proses pengimbuhan atau afiksasi senantiasa berhubungan dengan fungsi semantik dari suatu bentuk kompleks. Hal ini bisa kita lihat pada contoh-contoh makna afiksasi pada beberapa imbuhan berikut ini:

a.      meng-
mempunyai variasi makna sebagai berikut:
membuat: menggambar, menyate
menuju ke: melaut, menepi, mendarat
memberi : menandai, menopang, menomori
mengeluarkan: membuih, menyanyi
berlaku seperti: merajalela, membabi buta
menuju: melaut, mendarat
b.      ber-
mempunyai makna gramatikal:
dalam keadaan (statif): berbahagia
kumpulan: bertiga, berempat
mempergunakan: berbaju, bersepeda
menjadi: bertamu, berpisah
c.       ter-
mempunyai variasi makna gramatikal:
 superlatif (paling) : tercantik, tertinggi
tidak sengaja: tertidur, tertunduk
dapat di-: tercium, tercapai
hasil tindakan: tersebar, terpecah
d.      peng-
orang yang di-: petatar, pesuruh,
orang yang bersifat: pemarah, pemalas
alat: pemukul, penggaris
pelaku tindakan : pencopet, penjual

Keterangan:
Makna gramatikal dari imbuhan yang lain dapat dicari/diterka dari konteks kalimatnya. Prinsipnya, makna gramatikal muncul karena kaitan antarkata.

4. Fungsi afiks

a.  Prefiks meng-, dan ber-
Prefik meng- dan ber berfungsi sebagai pembentuk kata kerja aktif transitif: memukul, membaca
b.  Prefiks ter- dan di-  
pembentuk kata kerja pasif: terbeli, terbaca, dibeli, dibaca
pembentuk kata sifat (ter): tercantik, terpandang, tertinggi
c.  Prefiks ke-
pembentuk kata bilangan tingkat : kesatu, kedua, dan seterusnya
pembentuk kata bilangan kumpulan : kedua, ketiga, dan seterusnya
d.Konfiks ke-an
pembentuk kata benda: kedamaian
pembentuk kata sifat: kekecilan
pembentuk kata kerja pasif: kehujanan, kedinginan, kepanasan

Fungsi afiks yang lain dapat dicoba dengan cara dikaitkan dengan fungsi struktural dari kalimat yang dibentuknnya.

Senin, 12 November 2012

JENIS KALIMAT MENURUT BENTUK GAYANYA (RETORIKANYA)


Tulisan akan lebih efektif jika di samping kalimat-kalimat yang disusunnya benar, juga gaya penyajiannya (retorikanya) menarik perhatian pembacanya. Walaupun kalimat-kalimat yang disusunnya sudah gramatikal, sesuai dengan kaidah, belum tentu tulisan itu memuaskan pembacanya jika segi retorikanya tidak memikat. Kalimat akan membosankan pembacanya jika selalu disusun dengan konstruksi yang monoton atau tidak bervariasi. Misalnya, konstruksi kalimat itu selalu subjek-predikat-objek-ketengan, atau selalu konstruksi induk kalimat-anak kalimat.
Menurut gaya penyampaian atau retorikanya, kalimat majemuk dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu (1) kalimat yang melepas (induk-anak), (2) kalimat yang klimaks (anak-induk), dan (3) kalimat yang berimbang (setara atau campuran).
A. Kalimat yang Melepas
Jika kalimat itu disusun dengan diawali unsur utama, yaitu induk kalimat dan diikuti oleh unsur tembahan, yaitu anak kalimat, gaya penyajian kalimat itu disebut melepas. Unsur anak kalimat ini seakan-akan dilepaskan saja oleh penulisnya dan kalaupun unsur ini tidak diucapkan, kalimat itu sudah bermakna lengkap.
Misalnya:
a. Saya akan dibelikan vespa oleh Ayah jika saya lulus ujian sarjana.
b. Semua warga negara harus menaati segala perundang-undangan yang berlaku agar kehidupan di negeri ini berjalan dengan tertib dan aman.
B. Kalimat yang Klimaks
Jika kalimat itu disusun dengan diawali oleh anak kalimat dan diikuti oleh induk kalimat, gaya penyajian kalimat itu disebut berklimaks. Pembaca belum dapat memahami kalimat tersebut jika baru membaca anak kalimatnya. Pembaca akan memahami makna kalimat itu setelah membaca induk kalimatnya. Sebelum kalimat itu selesai, terasa bahwa ada sesuatu yang masih ditunggu, yaitu induk kalimat. Oleh karena itu, penyajian kalimat yang konstruksinya anak-induk terasa berklimaks, dan terasa membentuk ketegangan.
Misalnya:
a. Karena sulit kendaraan, ia datang terlambat ke kantornya.
b. Setelah 1.138 hari disekap dalam sebuah ruangan akhirnya tiga sandera warga negara Prancis itu dibebaskan juga.
C. Kalimat yang Berimbang
Jika kalimat itu disusun dalam bentuk majemuk setara atau majemuk campuran, gaya penyajian kalimat itu disebut berimbang karena strukturnya memperlihatkan kesejajaran yang sejalan dan dituangkan ke dalam bangun kalimat yang bersimetri.
Misalnya :
1. Bursa saham tampaknya semakin bergairah, investor asing dan domestik berlomba melakukan transaksi, dan IHSG naik tajam.
2. Jika stabilitas nasional mantap, masyarakat dapat bekerja dengan tenang dan dapat beribadat dengan leluasa.
Ketiga gaya penyampaian tadi terdapat pada kalimat majemuk. Adapun kalimat pada umumnya dapat divariasikan menjadi kalimat yang panjang-pendek, aktif-pasif, inversi, dan pengedepanan keterangan.

Kata Mereka tentang Aku

“Kasih sayang sebagai dasar pendidikan” itulah judul artikel yang kubaca pada mala m ini. Artikel ini ditulis  oleh Dr. Dedi Supriadi d...