Tampilkan postingan dengan label Kebahasaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebahasaan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 Januari 2013

Hubungan Sosiolinguistik dengan Disiplin Ilmu yang Lain

1.    Sosiologuistik dengan Linguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan dengan faktor sosiologi. Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan linguistik. Apa yang dikaji dalam linguistik (ilmu yang mengkaji bahasa sebagai fenomena yang inedependen) dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor sosial. Apa yang dikaji dalam linguistik, meliputi apa yang ditelaah De Saussure, kaum Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan Hocket) serta kaum Neo Bloomfieldien dengan deep structure dan surface structurenya, dipandang oleh sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan dengan pemakai dan pemakaian bahasa akan mengalami perubahan dan perbedaan. Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Karenanya, tidaklah mungkin seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan tanpa dilandasi pengetahuan mengenai linguistik murni itu.
Sosiolinguistik mengkaji wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh faktor di luar bahasa (sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga ditentukan oleh faktor di luar bahasa. Untuk dapat mengungkap wujud dan makna bahasa sangat diperlukan pengetahuan tentang linguistik murni (struktur bahasa), supaya kajian yang dilakukan tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri.
2.    Sosiolinguistik dengan Sosiologi
Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai dasar kajian (lihat kembali hubungan antara sosiolinguistik dan linguistik) dan memandang struktur sosial sebagai faktor penentu variabel. Keduanya dipandang sebagai gegenseitige einbettung dan gegenseitige determination, dan hubungan antara keduanya ditentukan oleh persyaratan manusia, organisasi pikiran manusia (dalam bentuk argumen lahiriah), serta tuntutan intrinsik dari sebuah bidang yang sistematis, kuat, dan efektif (Hymes,1966). Apa yang terdapat dalam sosiologi, yang berupa fakta-fakta sosial ditransfer ke dalam sosiolinguistik, sehingga muncullah keyakinan bahwa bahasa berhubungan dengan strata sosial. Meskipun demikian, hubungan antara sosiolinguistik dan sosiologi sebenarnya bersifat timbal-balik (simbiosis mutualisma).
Hubungan sosiologi – sosiolinguistik
1.    Kemajuan teori sosiologi seperti kelompok politik, mobilisasi massa, interferensi antarkelompok digunakan dalam sosiolinguistik,
2.    Metodologi dalam sosiologi seperti angket, wawancara, pengamatan terlibat digunakan juga sebagai metode dalam sosiolinguistik;
3.    Istilah-istilah sosiologi seperti funktion, rolle, dan soziale dimension juga digunakan dalam sosiolinguistik;
4.    Fakta-fakta sosial dalam sosiologi ditransfer ke dalam sosiolinguistik yang meliputi transfer terhadap fungsi bahasa secara keseluruhan dan terhadap struktur bahasa itu sendiri.
Dengan memperhatikan fakta-fakta sosial ini, sosiolinguistik pun mempertimbangkan situasi berbahasa, siapa yang berbicara, di mana, dan sebagainya,, karena bagaimana pun sosiolinguistik muncul karena adanya bantuan sosiologi.
Hubungan sosiolinguistik – sosiologi
1.    Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer untuk sosiologi;
2.    Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu masyarakat;
3.    Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan penegetahuan menegenai sosiologi. Dengan kata lain, sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial, seperti yang ditunjukkan oleh Labov dalam penelitiannya mengenai tuturan [r] dalam masyarakat Amerika dalam tingkat sosial yang berbeda.
3.    Hubungan Sosiolinguistik dengan Pragmatik
Pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari tujuan dan dampak berbahasa yang dikaitkan dengan konteks, atau penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan topik pembicaraan, tujuan, partisipan, tempat, dan sarana. Sebagaimana sosiolinguistik, pragmatik juga beranggapan bahwa bahasa (tuturan) tidaklah.
Pragmatik memandang bahasa sebagai alat komunikasi yang keberadaannya (baik bentuk maupun maknanya) ditentukan oleh penutur dan ditentukan dan keberagamannya ditentukan oleh topik, tempat, sarana, dan waktu. Fakta-fakta ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik untuk menjelaskan variasi-variasi bahasa atau ragam bahasa.
Pragmatik sangat menekankan aspek tujuan dalam berkomunikasi, seperti yang dikemukakan oleh Searle dalam tindak tuturnya. Bahasa akan berbeda karena adanya tujuan yang berbeda. Hal-hal ini pun dimanfaatkan oleh sosiolinguistik dengan menekankan variasi bahasa karena (berdasarkan) fungsi bahasa tersebut. Penggunaan bahasa dalam pragmatik juga sangat mempertimbangkan faktor interlokutor, yakni orang-orang yang terlibat dalam proses berkomunikasi dan berinteraksi. Karenanya, kode (meminjam istilah sosiolinguistik) yang digunakan pun berbeda. Dalam sosiolinguistik, aspek interlokutor ini dikembangkan lebih jauh dengan faktor sosial atau dialek sosial seperti tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, hubungan sosial, dan sebagainya. Apabila tuturan “3 X 4 berapa?” akan memiliki makna dan jawaban yang berbeda. Pragmatik memandang, perbedaan itu disebabkan faktor tempat, tujuan, dan penutur. Sosiolinguistik memandangnya dari sudut register. Meskipun demikian, keduanya memerlukan “pengetahuan bersama” atau common ground untuk sampai kepada pemahaman yang sebenarnya.
4.    Hubungan Sosiolinguistik dan Antropologi
Antropologi merupakan ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat-istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Antropologi memandang bahwa dalam budaya terkandung aspek bahasa. Dengan demikian apabila di daerah terdapat persamaan bahasa berarti mempunyai kekerabatan budaya yang dekat. Berarti pula, kesamaan bahasa menandai kesamaan budaya, dan bahasa dipakai dalam proses pembentukan budaya seperti mantra, pantun berbalas, debat, musyawarah, dan upacara-upacara adat. Antropologi membicarakan bahasa secara garis besar guna menjelaskan aspek budaya.
Sosiolinguistik berusaha untuk memanfaatkan penggolongan masyarakat melalui budaya yang dilakukan antropologi serta memandangnya sebagai faktor pemengaruh bahasa. Sosiolinguistik berusaha menguji ulang data linguistik yang ditemukan antropologi itu. Pandangan hidup (yang tercermin dalam perilaku) dipakai sebagai faktor penyebab variasi bahasa terutama aspek kosakata dan struktur. Hal ini tampak antara lain dalam hipotesis Sapir-Whorf.
Antropologi mendekati objek secara naturalistik. Antropologi berusaha memasuki “setting” penelitian dengan rapport sebelum mengadakan observasi partisipatoris. Metode ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik guna menemukan data bahasa secara akurat sekaligus menemukan faktor pemengaruhnya secara terperinci. Di dalam Atropologi terdapat prinsip perkembangan dan perubahan. Prinsip ini ditransfer ke dalam sosiolinguistik sehingga muncullah istilah kronolek, tempolek, serta istilah-istilah tabu dalam sosiolinguistik. Antropologi juga memberikan konsep tentang struktur kebudayaan dan transformai kebudayaan kepada sosiolinguistik. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya istilah grandfather (karena adanya konsep dan penghargaan kepada kakek sebagai orang tua yang mempunyai sifat dan kedudukan yang agung), serta simbok (sebagai orang tua yang dapat melengkapi dan memberi kesempurnaan atau tombok). Kebudayaan dalam antropologi disampaikan lewat bahasa, yang karenanya harus ada kemampuan komunikatif. Prinsip ini pun diambil oleh sosiolinguistik. Demikian pula, pengetahuan tentang budaya diperoleh bersamaan dengan pemerolehan bahasa, seperti sapaan, penggunaan bahasa sesuai konteks. Melalui ini pun dapat diketahui bagaimana budaya itu hidup dalam suatu masyarakat lengkap dengan nilai-nilai filosofi yang berkembang di dalamnya. Bahasa dalam antropologi digunakan untuk pengungkap budaya. Dengan demikian, apa yang dipandang penting, pastilah akan ditonjolkan. Dalam suatu masyarakat ditemukan berbagai istilah, sesuai dengan tingkat budayanya. Di Mesir misalnya, terdapat 500 kosakata untuk singa, 200 kata untuk ular, 80 kata untuk madu, dan 4644 kata untuk unta. Demikian pula, dalam budaya Jawa yang menonjolkan rasa (hingga ada istilah rumangsa bisa lan bisa rumangsa) memiliki cukup banyak kosakata ajektiva afektif, seperti sedih, susah, ngenes, nelangsa, miris, wedi, gila.
5.     Hubungan Sosiolinguistik dengan Psikologi
Pada masa Chomsky, linguistik mulai dikaitkan dengan psikologi dan dipandang sebagai ilmu yang tidak independen. Lebih jauh Chomsky mengatakan (1974) bahwa linguistik bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Linguistik merupakan bagian dari psikologi dalam cara berpikir manusia. Chomsky melihat bahasa sebagai dua unsur yang bersatu, yakni competence dan performance. Competence merupakan unsur dalam bahasa (deep structure) dan menempatkan bahasa dari segi kejiwaan penutur, sedangkan competence merupakan unsur yang terlihat dari parole. Dengan demikian, Chomsky memandang bahwa bahasa bukanlah gejala tunggal. namun dipengaruhi oleh faktor kejiwaan penuturnya. Chomsky juga mulai merambah wilayah makna walaupun akhirnya mengakui bahwa wilayah makna merupakan wilayah yang paling sulit dalam kajian linguistik. Apa yang dikemukakan Chomsky tentang struktur dalam dan struktur luar digunakan oleh sosiolinguistik sebagai pedoman bahwa tuturan yang nampak sebenarnya hanyalah perwujudan dari segi kejiwaan penuturnya. Lebih lanjut sosiolinguistik membuka diri untuk menelaah perbedaan bentuk tuturan itu. Kaitan antara competence dan performance terlihat dari penggunaan bahasa penutur. Orang dikatakan mempunyai kompetensi dan performansi yang baik apabila dapat menggunakan berbagai variasi bahasa sesuai dengan situasi. Orang yang berperformansi baik tentulah memiliki kompetensi yang baik, dan memungkinkan penggunaan kode luas (elaborated code). Sebaliknya, orang yang kompetensinya rendah, akan muncul kode terbatas (restricted code). Dalam psikologi perkembangan terdapat fase perkembangan. mulai menangis (tangis bertujuan: lapar, dingin, takut), tengkurap, duduk, merangkak, dan berjalan. Kesemuanya diikuti atau sejalan dengan perkembangan kebahasaannya. Dalam sosiolinguistik, hal ini diadopsi sebagai variasi bahasa dilihat dari segi usia penutur, (orang mempelajari bahasa sesuai dengan tingkat perkembangannya). Karenanya dikenal juga variasi bahasa remaja dan manula. Dari sudut psikologi, laki-laki memiliki kejiwaan yang secara umum berbeda dengan wanita. Karenanya, apa yang mereka tuturkan juga tidak sama. Sosiolinguistik mentransfer konsep ini, sehingga muncullah istilah variasi bahasa berdasarkan genus atau jenis kelamin (lihat kembali “Bahasa dan Jenis Kelamin”).

Minggu, 18 November 2012

IMBUHAN (AFIKS)


Imbuhan atau afiks adalah bentuk morfem terikat yang melekat pada salah satu kata, baik kata dasar ataupun kata jadian. Imbuhan berperan dalam proses pembentukan kata dasar menjadi kata jadian.
Di bawah ini terdapat beberapa penjelasan tentang imbuhan. 

1. Jenis afiks menurut tempatnya: 

a.  awalan/ prefiks: meng, ber, ter, ke, peng, per, dan seterusnya.
b.  akhiran/ sufiks: -an, -kan, -i
c.  sisipan/ infiks: ke-an, per-an, peng-an, dan seterusnya.
d.  konfiks 

2. Jenis afiks menurut penggunaannya: 

1.  Afiks produktif: yaitu afiks yang memiliki frekuensi pemakaian yang tinggi.
Contoh: se-, meng-, ber-, peng-, per-, dan seterusnya.
2.  Afiks tak produktif: yaitu afiks yang frekuensi pemakaiannya tidak tinggi.
Contoh: -em, -el, -er, -wati, -is, -nda, dan seterusnya.
3.  Afiks asing/ afiks serapan:
a. Akhiran dari bahasa Sansekerta: -wan, -wati, -man
b. Akhiran dari bahasa Arab: -i, -wi, -in, -at, -ah
c. Akhiran dari bahasa Barat:-isme, -tas, -ika, -logi, -is, (asi), dsb (kata benda), -al, -or, -if, -is, dsb.

3. Makna imbuhan

Makna proses pengimbuhan atau afiksasi senantiasa berhubungan dengan fungsi semantik dari suatu bentuk kompleks. Hal ini bisa kita lihat pada contoh-contoh makna afiksasi pada beberapa imbuhan berikut ini:

a.      meng-
mempunyai variasi makna sebagai berikut:
membuat: menggambar, menyate
menuju ke: melaut, menepi, mendarat
memberi : menandai, menopang, menomori
mengeluarkan: membuih, menyanyi
berlaku seperti: merajalela, membabi buta
menuju: melaut, mendarat
b.      ber-
mempunyai makna gramatikal:
dalam keadaan (statif): berbahagia
kumpulan: bertiga, berempat
mempergunakan: berbaju, bersepeda
menjadi: bertamu, berpisah
c.       ter-
mempunyai variasi makna gramatikal:
 superlatif (paling) : tercantik, tertinggi
tidak sengaja: tertidur, tertunduk
dapat di-: tercium, tercapai
hasil tindakan: tersebar, terpecah
d.      peng-
orang yang di-: petatar, pesuruh,
orang yang bersifat: pemarah, pemalas
alat: pemukul, penggaris
pelaku tindakan : pencopet, penjual

Keterangan:
Makna gramatikal dari imbuhan yang lain dapat dicari/diterka dari konteks kalimatnya. Prinsipnya, makna gramatikal muncul karena kaitan antarkata.

4. Fungsi afiks

a.  Prefiks meng-, dan ber-
Prefik meng- dan ber berfungsi sebagai pembentuk kata kerja aktif transitif: memukul, membaca
b.  Prefiks ter- dan di-  
pembentuk kata kerja pasif: terbeli, terbaca, dibeli, dibaca
pembentuk kata sifat (ter): tercantik, terpandang, tertinggi
c.  Prefiks ke-
pembentuk kata bilangan tingkat : kesatu, kedua, dan seterusnya
pembentuk kata bilangan kumpulan : kedua, ketiga, dan seterusnya
d.Konfiks ke-an
pembentuk kata benda: kedamaian
pembentuk kata sifat: kekecilan
pembentuk kata kerja pasif: kehujanan, kedinginan, kepanasan

Fungsi afiks yang lain dapat dicoba dengan cara dikaitkan dengan fungsi struktural dari kalimat yang dibentuknnya.

Senin, 12 November 2012

JENIS KALIMAT MENURUT BENTUK GAYANYA (RETORIKANYA)


Tulisan akan lebih efektif jika di samping kalimat-kalimat yang disusunnya benar, juga gaya penyajiannya (retorikanya) menarik perhatian pembacanya. Walaupun kalimat-kalimat yang disusunnya sudah gramatikal, sesuai dengan kaidah, belum tentu tulisan itu memuaskan pembacanya jika segi retorikanya tidak memikat. Kalimat akan membosankan pembacanya jika selalu disusun dengan konstruksi yang monoton atau tidak bervariasi. Misalnya, konstruksi kalimat itu selalu subjek-predikat-objek-ketengan, atau selalu konstruksi induk kalimat-anak kalimat.
Menurut gaya penyampaian atau retorikanya, kalimat majemuk dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu (1) kalimat yang melepas (induk-anak), (2) kalimat yang klimaks (anak-induk), dan (3) kalimat yang berimbang (setara atau campuran).
A. Kalimat yang Melepas
Jika kalimat itu disusun dengan diawali unsur utama, yaitu induk kalimat dan diikuti oleh unsur tembahan, yaitu anak kalimat, gaya penyajian kalimat itu disebut melepas. Unsur anak kalimat ini seakan-akan dilepaskan saja oleh penulisnya dan kalaupun unsur ini tidak diucapkan, kalimat itu sudah bermakna lengkap.
Misalnya:
a. Saya akan dibelikan vespa oleh Ayah jika saya lulus ujian sarjana.
b. Semua warga negara harus menaati segala perundang-undangan yang berlaku agar kehidupan di negeri ini berjalan dengan tertib dan aman.
B. Kalimat yang Klimaks
Jika kalimat itu disusun dengan diawali oleh anak kalimat dan diikuti oleh induk kalimat, gaya penyajian kalimat itu disebut berklimaks. Pembaca belum dapat memahami kalimat tersebut jika baru membaca anak kalimatnya. Pembaca akan memahami makna kalimat itu setelah membaca induk kalimatnya. Sebelum kalimat itu selesai, terasa bahwa ada sesuatu yang masih ditunggu, yaitu induk kalimat. Oleh karena itu, penyajian kalimat yang konstruksinya anak-induk terasa berklimaks, dan terasa membentuk ketegangan.
Misalnya:
a. Karena sulit kendaraan, ia datang terlambat ke kantornya.
b. Setelah 1.138 hari disekap dalam sebuah ruangan akhirnya tiga sandera warga negara Prancis itu dibebaskan juga.
C. Kalimat yang Berimbang
Jika kalimat itu disusun dalam bentuk majemuk setara atau majemuk campuran, gaya penyajian kalimat itu disebut berimbang karena strukturnya memperlihatkan kesejajaran yang sejalan dan dituangkan ke dalam bangun kalimat yang bersimetri.
Misalnya :
1. Bursa saham tampaknya semakin bergairah, investor asing dan domestik berlomba melakukan transaksi, dan IHSG naik tajam.
2. Jika stabilitas nasional mantap, masyarakat dapat bekerja dengan tenang dan dapat beribadat dengan leluasa.
Ketiga gaya penyampaian tadi terdapat pada kalimat majemuk. Adapun kalimat pada umumnya dapat divariasikan menjadi kalimat yang panjang-pendek, aktif-pasif, inversi, dan pengedepanan keterangan.

Selasa, 09 Oktober 2012

Sinonim dan Antonim

 
A.   Sinonim
Secara etimologis kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kono yaitu anoma yang berarti ‘nama’ dan syn yang berarti ‘dengan’. Secara harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik Verhaar ( 1978 ) dalam bukunya Chaer (1994:82) mendefinisikan “ Sebagai ungkapan ( bisa berupa kata, frase, kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain”. Pada definisi di atas dikatakan “maknanya kurang lebih sama” ini berarti “Dua buah kata yang bersinonim itu kesamaan maknanya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja” ( Zgusta : 1971 dalam bukunya Chaer,1994:83).
Contoh : Bodrex redakan pening,pusing. Bodrex dapat diminum   kapan saja.

Sabtu, 22 September 2012

Bentuk Ulang (Reduplikasi)


        A. Konsep Reduplikasi
Secara sederhana, reduplikasi diartikan sebagai proses pengulangan. Hasil dari proses pengulangan itu dikenal sebagai kata ulang (Sutanyaya, 1997: 130). Selanjutnya Kridalaksana (1983: 143) menjelaskan bahwa reduplikasi adalah suatu proses dan hasil pengulangannya satuan bahasa sebagai alat fonologis dan gramatikal. Ahli lain, Ramlan (1983: 55) mengatakan bahwa proses pengulangan atau reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan tersebut disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar. Selanjutnya, Keraf (1980: 119) dalam bukunya mengatakan, kata-kata ulang disebut reduplikasi. Istilah ini digunakan dalam tata bahasa pertama berdasarkan bentuk perulangan dalam bahasa barat, jadi bahasa Indonesia konsepsi sendiri tentang kata ulang. Dari pendapat kedua ahli tersebut di atas, jelas tergambar bahwa konsep reduplikasi (proses pengulangan kata) berhubungan dengan kata (termasuk perubahan bunyi kata), fungsi dan makna kata, karena disebutkan berhubungan dengan gramatika.
Dengan melihat konsep tersebut, dalam konteks ilmu bahasa, reduplikasi termasuk dalam kajian morfologi. Karena reduplikasi memiliki status yang sama dengan proses pembentukan kata dalam morfologi. Sebagaimana afiksasi dan penjamakan kata (kompositam). (Keraf, 1983: 120)
Sebagai proses pembentukan kata, reduplikasi dialami oleh semua bahasa di dunia. Kondisi ini sesuai dengan konsep langue dan parole yang dikemukakan oleh De Seassure (dalam Verhaar, 1980: 114). Langue berhubungan dengan kondisi umum semua bahasa. Artinya setiap unsur dan proses tata bahasa (gramatikalisasi) dialami dan dimiliki oleh semua bahasa. Hanya saja realisasi dari unsur dan proses tersebut yang berbeda-beda pada masing-masing bahasa di dunia.
Contoh :
-      Untuk menyatakan kegiatan yang terjadi berulang-ulang pada kata yang dialami oleh semua bahasa . Fenomena tersebut merupakan fenomena langue.
-  Kata berputar-putar (pengulangan kata dasar putar) : parole dalam bahasa Indonesia. 
B. Jenis Kata Ulang
Keraf (1984: 120) membagi kata ulang (reduplikasi) menjadi empat bagian :
a.    Kata ulang dengan perubahan suku awal
Contoh :
-      tanam-tanaman : tetanaman

b.   Kata ulang dengan perubahan seluruh (utuh) (Dwilingga)
Contoh :
-      buah : buah-buah
-      rumah : rumah-rumah
c.    Kata ulang dengan perubahan bunyi pada satu fonem atau lebih.
Contoh :
-      gerak-gerik : gerak-gerik
-      sayur-mayur : Sayur-mayur
d.   Kata ulang berimbuhan
Contoh :
-      main-main : bermain-main
-      kuda-kuda : kuda-kudaan 
   Ahli  lain,  Kridalaksana (1983: 143) membagi kata ulang (reduplikasi)  menjadi delapan bagian :
a.    Kata ulang (reduplikasi) antisipatoris, yakni reduplikasi yang terjadi karena pemakai bahasa mengantisipasikan bentuk yang diulang ke depan.
Contoh : tembak - menembak
b.   Kata ulang (reduplikasi) fonologis, yakni pengulangan unsur-unsur fonologis (fonem, suku kata, kata).
Contoh : laki-laki : lelaki
c.    Kata ulang (reduplikasi) grammatikal, yakni pengulangan fungsional dari suatu bentuk dasar (mencakup morfologi dan sintaksis).
Contoh : besar : membesar-besarkan
             putar : memutar-mutar
d.   Kata ulang (reduplikasi) idiomatis, yakni kata ulang yang maknanya tidak dapat dijabarkan dari bentuk yang diulang.
Contoh : mata-mata à bukan pengulangan kata mata dengan makna panca indra.
e.    Kata ulang (reduplikasi) konsekutif, yakni kata ulang yang terjadi karena pemakai bahasa mengungkap lagi bentuk yang sudah diungkap (perulangan terjadi ke belakang).
Contoh : tembak menembak-nembak
f. Kata ulang (reduplikasi) morfologis, yakni pengulangan morfem yang menghasilkan kata.
Contoh : kabar : mengabar-ngabarkan
               naik   : menaik-naikkan
g.    Kata ulang non idiomatis, yakni perulangan yang maknanya jelas dari bagian yang diulang maupun dari prosesnya.
Contoh : kertas-kertas : banyak kertas
             Rumah-rumah : banyak rumah.
h.   Kata ulang (reduplikasi) sintaksis, yakni proses pengulangan yang menghasilkan klause.
Contoh : jauh-jauh : walaupun jauh
          Ahli lain, Ramlan (1983: 55) membagi kata ulang (Reduplikasi) menjadi empat bagian :
a.    Pengulangan seluruh
Pengulangan seluruh ialah pengulangan seluruh bentuk dasar, tanpa perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan proses perubahan afiks.
Contoh :
-      sepeda : sepeda-sepeda
-      buku : buku-buku
-      kebaikan : kebaikan-kebaikan
b.   Pengulangan sebagian
Pengulangan sebagian adalah pengulangan sebagian dari bentuk dasarnya, dengan kata lain bentuk dasar tidak diulang seluruhnya.
Contoh :
-      lelaki : bentuk dasar laki
-      tetamu : bentuk dasar tamu
-      beberapa : bentuk dasar berapa
c.    Pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dalam golongan ini bentuk dasar diulang seluruhnya dan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, maksudnya pengulangan itu terjadi bersama-sama dengan proses pembubuhan afiks dan bersama-sama pula mendukung satu fungsi.
Contoh :
-   kereta-keretaan : bentuk dasar kereta
-   gunung-gunungan : bentuk dasar gunung
d.   Pengulangan dengan perubahan fonem
Kata ulang yang perubahannya termasuk sebenarnya sangat sedikit.
Contoh :
-   gerak : gerak-gerik
-   serba : serba-serbi
-   rebut : berebut-rebutan
    C.   Bentuk Dasar Kata Ulang
      Setiap kata ulang memiliki satuan yang diulang. Jadi satuan yang diulang itu disebut kata dasar. Sebagian kata ulang dengan mudah ditentukan bentuk kata dasarnya.
Contoh :
-      rumah-rumah : bentuk dasarnya rumah

Kata Mereka tentang Aku

“Kasih sayang sebagai dasar pendidikan” itulah judul artikel yang kubaca pada mala m ini. Artikel ini ditulis  oleh Dr. Dedi Supriadi d...