Senin, 26 November 2012

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK CERITA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL SISWA KELAS X RSBI 7 SMA NEGERI I KEDIRI TAHUN 2011/2012


BAB II
TINJAUAN PUSATAKA DAN KERANGKA TEORI

A.       Pengajaran Cerita Pendek
Pada kenyataannya sastra telah diajarkan kepada siswa untuk seluruh jenjang pendidikan selama ini. Namun disinyalir bahwa pembelajaran sastra belum mencapai hasil yang optimal. Pembelajaran sastra perlu dikembangkan karena pembelajaran tersebut didukung oleh aspek pertimbangan psikologis. Menurut Mulyana (2000:4) peserta didik memiliki pengetahuan dan keingintahuan yang sangat besar. Dengan pengetahuan yang dimiliki, mereka dapat memperoleh kenikmatan dan intelektual dari sebuah karya sastra. Kebutuhan akan pencarian makna estetis dan makna intelektual berkorelasi positif dengan kebutuhan mereka dalam mengembangkan kematangan intelektual dan emosionalnya. Oleh karena itu, Rudy (2003:297) menegaskan bahwa sastra dapat menjadi wahana pencarian makna apabila diajarkan dengan benar.
Pengajaran sastra yang baik dan benar adalah pengajaran yang mengadopsi perspektif estetik dan memberi penekanan pada sudut pandang tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Rosenblatt berikut, “To teach literature correctly is to emphasize the aesthetic stance and to de-emphasize the efferent.” (1978:22-47). Pernyataan tersebut mengindikasikan makna yang signifikan bahwa siswa tidak hanya mengidentifikasi apa yang tertuang dalam karya sastra seperti latar, tokoh dan penokohan, serta alur cerita, tetapi mereka juga dapat mengidentifikasi apa yang ada di luar karya sastra itu sendiri seperti maksud pengarang, simbolisme, gaya cerita dan sebagainya.
Sayangnya, pengajaran sastra di sekolah menengah lebih menekankan sudut pandang efferent; siswa hanya menceritakan kembali kisah perjalanan tokoh cerita dengan segudang permasalahannya. Selanjutnya, perlu dicermati dan ditelusuri perjalanan dan kiprah pengajaran sastra di tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Rudy (2003:298) menandaskan, “Sastra telah diperlakukan secara ‘kurang adil’ di berbagai jenjang pendidikan.” Keprihatinan Rudy muncul bersamaan dengan asumsi yang memposisikan sastra semakin terpojokkan bahwa sastra hanya merupakan pelajaran hafalan untuk beroleh kesenangan, bahwa sastra tidak mampu meningkatkan kompetensi berbahasa siswa. Selain itu, banyak sastrawan yang turut prihatin dengan ketidakmampuan siswa mengapresiasi karya sastra.
Keprihatinan tersebut mereka atasi dengan melakukan kegiatan “Sastrawan ke Sekolah” pada tahun 2006. Demikian halnya dengan pengajaran sastra Inggris di jurusan bahasa Inggris, sangat diabaikan dan dihindari karena kedua asumsi di atas (Zughoul, 1986; Rosenblatt, 1991). Kekurangadilan bagi pengajaran sastra sebagaimana diilustrasikan oleh Moody (1977) adalah sastra menempati kedudukan yang sangat kecil dalam pendidikan bahasa. Keberadaan sastra dalam pendidikan bahasa berdasarkan hasil penelitian Harras (2003:303) belum menyentuh substansi dan mengusung misi utamanya yaitu memberikan pengalaman bersastra kepada peserta didik karena porsi pengajaran sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa. Oleh karena itu, pengajaran sastra harus dipisahkan dari pengajaran bahasa. Pemisahan sastra dari pembelajaran bahasa ditentang oleh Alwasilah (2002) bahwa bahasa dan sastra bukan sebuah dikotomi. Sebagai perbandingan, ia menggambarkan bahwa sastra berada dalam naungan bahasa (language arts) di mancanegara. Dengan demikian, tidak ada argumentasi yang menguatkan temuan Harras bahwa sastra harus dipisahkan dari pengajaran bahasa (Moody, 1977; Rusyana, 2003; Rudy, 2005).
Porsi pengajaran sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa tidak harus menjadi sebuah masalah yang mendasar. Perlu disepakati bersama bahwa permasalahan pokok dalam pembelajaran sastra adalah “teacher as the actor, not the song.” Hal ini tergambar dengan jelas berdasarkan beberapa temuan dan pendapat berikut: pengetahuan guru tentang sastra sangat terbatas (Alwasilah, 1994), sastra diajarkan guru-guru yang tidak profesional (Alwasilah, 1999), guru tidak tahu mengajarkan sastra dengan baik (Wei, 1999) dan guru dan strategi mengajar mereka penyebab rendahnya mutu pengajaran sastra (Mansour, 1999). Pendapat Alwasilah tentang sastra diajarkan oleh guru-guru yang tidak profesional berseberangan dengan temuan Rudy (2005) bahwa sastra dapat diajarkan oleh semua guru bahasa karena komponen terpenting dalam apresiasi sastra adalah strategi mengajar dan mengapresiasinya. Dengan demikian, kesepakatan awal tentang guru yang menjadi masalah utama, bukan karya sastra, pun karena guru belum mengetahui cara mengajarkan sastra dan apresiasinya.
Kualitas pengajaran sastra sejauh ini masih sering dipertanyakan dan diragukan. Kondisi itu diperkirakan oleh adanya kurikulum yang sering berganti-ganti dan alokasi waktu yang dituding sebagai penyebab rendahnya kualitas pengajaran sastra. Bertentangan dengan penafsiran tersebut, berdasarkan fakta empirik yang ditemukan Ismail (2000:115) penyebab dari hal itu adalah metodologi pengajaran sastra yang tidak efisien. Kondisi demikian dipertegas lagi oleh Rosidi (1983:130) bahwa kualitas pembelajaran sastra masih sangat memprihatinkan diindikasikan oleh pengajaran sastra yang seadanya. Penyebabnya adalah kurikulum yang tak jelas arahnya, jumlah pengajar dan kemampuannya tidak memadai, dan materi pengajaran yang jauh dari lengkap. Kedua sastrawan tersebut merupakan stereotipe yang representatif mengeluhkan buruknya pengajaran bahasa dan sastra di seluruh jenjang pendidikan.
Harapan untuk mewujudkan pembelajaran sastra yang estetik terinspirasi dari temuan Ismail (2000) bahwa siswa SMU di Indonesia membaca 0 (nol) karya sastra dan termotivasi berdasarkan data empiris dalam Pikiran Rakyat (2000) bahwa keterampilan menulis siswa Indonesia paling rendah di Asia. Kenyataan di atas didukung oleh hasil observasi Alwasilah (1998) bahwa kaum intelektual rendah mutunya dalam menulis. Untuk itulah sastra perlu diperkenalkan kepada siswa sedini mungkin. Kebiasaan membaca dan mengapresiasi karya sastra dapat menjadikan langkah awal siswa untuk gemar membaca. Ini berarti bahwa salah satu keterampilan berbahasa mulai tumbuh dalam diri siswa. Seiring dengan pertumbuhan kegiatan tersebut, guru dapat meneruskan kegiatan lainnya, yaitu mengapresiasi cerita yang telah dibaca siswa.
Kegiatan mengapresiasi dapat melibatkan kompetensi berbahasa lainnya. Setelah membaca, guru dapat meminta siswa menuliskan kembali (meringkas) cerita dan menuliskan pemeran cerita, karakterisasi, latar cerita. Menurut Rusyana (2003:4) menulis merupakan salah satu kompetensi dalam pembelajaran sastra untuk beroleh kemampuan berekspresi sastra. Ia menyebutkan menulis puisi, cerita pendek, dialog, dongeng dan drama singkat sebagai contoh kegiatan menulis yang dapat dilakukan siswa. Untuk mewujudkan kegiatan tersebut, guru harus menjelaskan bagaimana melibatkan perasaan siswa terhadap tokoh cerita yang dibaca oleh siswa dan bagaimana menghubungkan segala unsur yang ada dalam cerita dengan kehidupan sosial, budaya, dan agama yang dianut oleh mereka.
Perspektif sosial dan budaya dalam mengidentifikasi karya sastra dikemukakan oleh Beach dan Marshall (1991), sedangkan perspektif religi oleh Moody (1970). Cox dan Many (1992:28) mencontohkan Winke, 11 tahun, dapat merespons buku yang baru saja dibacanya A Proud Taste for Scarlet and Miniver, sebuah karya besar berdasarkan kehidupan Eleanor of Aquitaine. Winke merespons isi buku tersebut dengan cara menceritakan kembali apa yang telah dibacanya, mengaitkan hal-hal pokok dalam cerita sesuai dengan perasaan dan pengalamannya. Kemudian ia hubungkan cerita itu dengan buku cerita lain yang pernah dibacanya atau film yang pernah ditontonnya. Pada akhirnya, ia dihadapkan pada keyakinannya tentang apa yang telah dibaca sebagai hasil membaca. Ilustrasi ini mengindikasikan bahwa keterampilan menulis siswa dapat dikembangkan sejak kecil dengan cara merespons karya sastra. Sejalan dengan ilustrasi tersebut, Beach (1990:74) mengungkapkan bahwa kualitas respons siswa dapat ditingkatkan oleh guru. Respons tersebut dapat mengembangkan kemampuan berbahasa karena para siswa menulis secara bebas, menghubungkan respons mereka, mengaitkan tindakan mereka dengan karya yang dibaca serta berbagi pengalaman tentang respons mereka.
Makalah ini membahas pengajaran apresiasi sastra Indonesia dengan mengedepankan respons pembaca dan respons simbol visual sebagai paradima baru yang mampu mengolaborasikan dua respons yang berbeda tersebut untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Makalah ini juga mengelaborasi berbagai hasil penelitian tentang respons pembaca dan respons simbol visual di seluruh tingkat pendidikan.


B.       Cerita Pendek
1.    Pengertian Cerita Pendek.
Sampai kini belum ada kesamaan pendapat tentang pengertian cerpen yang paling tepat sehuingga dapat diterima setiap orang. Banyak ahli dan peminat sastra yang berpendapat bahwa memberikan batasan cerita pendek lebih sulit daripada memperlihatkan atau menunjukkan cerpen itu sendiri. Walaupun demikian berikut ini penulis kutipkan beberapa pendapat tentang pengertian tersebut sebagai bahan untuk memahami sebuah cerita pendek.
Harry D. Fauzi (2005:61) mengemukakan bahwa cerita pendek atau cerpen adalah bentuk karangan prosa fiksi yang pendek, jumlah katanya berkisar antara seribu hingga lima ribu kata. Cerpen dikembangkan dan diarahkan kepada insiden atau peristiwa tunggal yang berkaitan erat dengan pelaku utamanya. Bagi penulis cerpen tidak ada kesempatan untuk mengembangkan karakter pelaku-pelakunya secara rinci.
Beberapa batasan lain menekankan pada tunggalnya kejadian dalam cerpen itu sendiri. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1994:37) berpendapat bahwa cerpen adalah cerita atau narasi fiktif yang relatif pendek dan hanya mengandung satu peristiwa untuk satu efek bagi pembacanya. Dikemukakan pula oleh Ellery Sadwich (dalam Tarigan, 1993:197) bahwa cerpen adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca.
Beberapa ciri yang tampak pada sebuah cerpen dikemukakan oleh Ristiani (2003:4) sebagai berikut.
1. Relatif lebih pendek (sebab ada pula cerpen yang panjang);
2. Terdiri atas 1.000 sampai 5.000 kata (tidak menjadi ukuran mutlak);
3. Dapat dibaca selesai dalam sekali duduk;
4. Kesan tunggal diperoleh dalam sekali baca(caranya dengan mengarahkan plot pada insiden/peristiwa tunggal);
5. Tokoh jarang dikembangkan karena langsung ditunjukkan karakternya;
6. Karakter di dalam cerpen lebih merupakan penunjukan daripada perkembangan
7. Dimensi waktu terbatas;
8. Kualitas cerpen bersifat pendataan, pemusatan, dan pendalaman;
9. Mencapai keutuhan secara ekslusi;
10. Membiarkan hal-hal yang dianggap tidak pokok;
11. Hanya mengungkapkan satu masalah tunggal;
12. Menunjukkan adanya kebulatan kisah;
13. Pemusatan perhatian pada satu tokoh utama, pada satu situasi tertentu.
Rincian mengenai ciri-ciri cerpen dapat disimpulkan dengan memperhatikan beberapa pendapat di atas. Ciri-ciri tersebut adalah: Pertama, bentuk cerpen berupa cerita rekaan atau narasi fiktif (bukan analisis argumentatif); kedua, sifat narasi fiktif cerpen menuntut adanya satu kejadian atau terkonsentrasi hanya pada satu peristiwa. Ketiga, bahan atau isinya berupa kehidupan; keempat, relatif pendek; dan kelima menggunanakan media bahasa. Dari ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita fiksi atau rekaan yang relatif singkat, mengungkapkan suatu kesan dari pragmen kehidupan manusia, berpusat pada suatu peristiwa dan merupakan suatu kesatuan yang utuh serta dinyatakan dalam bahasa tulis.
2.      Unsur-unsur Cerita
Dalam upaya memahami suatu karya sastra khususnya cerita pendek, Harry D. Fauzi (2005:44) mengemukakan dua cara , yakni pendekatan terhadap unsur-unsur intrinsik(pendekatan objektif) dan pendekatan melalui unsur-unsur ekstrinsiknya(pendekatan mimetik atau ekspresif). Memahami unsur intrinsik berarti memiliki kemampuan dalam menganalis aspek-aspek struktur cerita yang meliputi, tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang, dan gaya penuturan.
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan struktur karya sastra yang meliputi tema, latar, penokohan/perwatakan, alur, sudut pandang, gaya, suasana, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun atau mempengaruhi karya sastra dari luar atau latar belakang penciptan karya sastra itu sendiri. (Sumardjo, 1994:37).
2.1  Tema
Tema menurut Stanton dan Kenny (dalam Ristiani, 2003:70) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema adalah ide sebuah cerita yang ingin dikatakan pengarang kepada pembacanya, baik masalah keghidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan, maupun komentarnya terhadap kehidupan ini. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita.
Menurut Jakob Sumardjo (1994:57) mencari arti sebuah cerpen, pada dasarnya adalah mencari tema yang terkandung dalam cerpen tersebut. Dengan demikian betapa pentingnya keberadaan tema dalam sebuah cerita, sehingga tema sering sekali disebut sebagai ide pusat atau ide inti dalam sebuah cerita.
2.2  Latar (Setting)
Dikemukan oleh Eddy (dalam Ristiani, 2003:54) bahwa latar/setting adalah seluruh keterangan mengenai tempat(ruang), waktu, dan suasana. Latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan tempat dan waktu berlangsungnya cerita. Latar merupakan unsur cerita yang penting.
Lebih rincinya lagi menurut Keeney (dalam Sudjiman 1992:44) latar meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan, sampai kepada rincian perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh; waktu berlangsungnya kejadian; masa sejarahnya; musim terjadinya; lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.
Hudson membedakan latar sosial dan latar fisik. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat, kebiasaaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain. Sedangkan latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya (Sudjiman, 1992: 44).
Latar mempunyai fungsi memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagimana adanya seperti yang digambarkan dalam sebuah cerpen, dan merupakan proyeksi keadaan batin para tokoh. Latar erat kaitannya dengan unsur-unsur lain, misalnya dengan penokohan. Penggambaran latar yang tepat bisa menentukan gambaran watak tokoh. Latar dengan unsur-unsur lain akan saling melengkapi supaya bisa menghasilkan cerita yang utuh.
2.3. Penokohan atau Perwatakan
Penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro dalam Ristiani, 2003: 12). Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, yakni menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan mencakup siapa yang menjadi tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana pelukisannya di dalam sebuah cerita.
Dalam cerpen jumlah tokoh tidak dibatasi hanya satu, dua, atau tiga, sebab meskipun dalam cerpen itu tokohnya banyak, yang menjadi tokoh utamanya tidak lebih dari dua orang. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya hanya sebagai tokoh tambahan yang berfungsi menegaskan adanya tokoh.
2.3  Alur (Plot)
Yang dimaksud dengan alur/plot adalah urutan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian dalam sebuah fiksi yang disajikan kepada pembaca tidak hanya bersifat kewaktuan tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah diperhitungkan (memiliki hubungan kausalitas). Kejelasan suatu alur akan mempermudah pemahaman terhadap cerita yang disajikan. Kejelasan alur/plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dipahami(Ristiani, 2003:41).
Adapun tahap-tahap alur/plot secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.

1. paparan (exposition) awal cerita
2. rangsangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)

1. tikaian (conflict)tengah cerita
2. rumitan (conflication)
3. klimaks (climax)

1. leraian (falling action)akhir cerita
2. selesaian (denounement) (Sudjiman, 1992:30)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah struktur penyusunan peristiwa-peristiwa dalam cerita yang disusun secara logis. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat disusun dengan cara:
(1)      linear atau terusan
Alur linear atau terusan menyajikan rentetan peristiwanya susul-menyusul secara temporal (temporal sequence) atau kronologis.
(2)      sorot balik atau falshback
Alur sorot balik menempatkan peristiwa yang berdasarkan urutan kronologis dalam alur linear merupakan peristiwa terakhir, pada awal cerita. Kemudian secara berangsur-angsur peristiwa yang mendahuluinya diperkenalkan kepada pembaca.
Secara kualitatif alur terbagi dua, yaitu alur longgar (renggang) dan alur erat (ketat).
-  Alur longgar adalah alur yang peristiwa-peristiwanya seolah-olah berdiri sendiri sehingga apabila salah satu peristiwanya dihilangkan tidak akan mempengaruhi keutuhan cerita.
-  Alur ketat: tiap rinciannya, tiap-tiap tokoh, lakuan dan peristiwanya merupakan bagian vital dan integral dari suatu pola alur yang telah dirancang baik, selaras, dan seimbang (Hudson dalam Sudjiman, 1992:39), sehingga apabila salah satu rinciannya dihilangkan, cerita tersebut tidak dapat dipahami atau rusak.
2.5 Sudut Pandang
Yang dimaksud dengan sudut pandang (point of view) atau pusat pengisahan adalah cara pengarang memaparkan ceritanya serta di mana ia menempatkan diri di dalam cerita. Pengarang dapat bertindak sebagai pencerita saja dan tidak terlibat di dalam cerita, atau ia menjadi salah satu tokoh yang ada di dalam cerita. (Fauzi, 2005: 52). Maksudnya adalah di manakah kedudukan pengarang dalam cerita yang dikarangnya. Apakah dia merupakan salah satu tokoh dalam cerita yang berkisah tentang dirinya sendiri atau dia berada di luar cerita, dengan menciptakan tokoh lain dalam ceritanya. Hal ini bergantung pada keinginan dan tujuan pengarang.
Morris (dalam Tarigan 1992:141) menjelaskan bahwa dalam menyusun ceritanya pengarang dapat menggunakan sudut pandang sebagai berikut.
(a) the omniscient point of view; pengarang mengetahui segala sesuatu (pikiran dan perasaan) tokoh-tokohnya dan dapat pula melihat tingkah laku mereka dari berbagai sudut.
(b) the first person point of view; pengarang berada di luar cerita atau bertindak sebagai salah seorang pelaku.
(c) the third person point of view; pengarang berada di luar cerita atau bertindak sebagai tukang cerita.
(d) the central intelegence; cerita itu disajikan seperti yang terlihat melalui mata salah saeorang pelaku, walaupun ada hubungannya dengan yang dilakukan oleh omniscient narator.
(e) the scenic; tukang cerita disingkirkan dan cerita itu disajikan hampir seluruhnya dalam bentuk dialog seperti drama.
Harry Shaw (dalam sudjiman 1992:76) menyatakan bahwa pusat pengisahan dalam kesusastraan meliputi:
(a) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita;
(b) Sudut pandang mental, yaitu perasan dan sikap pengarang terhadap masalah cerita;
(c) Sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawakan cerita: sebagai orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga.
2.6 Gaya
Gaya yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah gaya penuturan, bukan gaya bahasa. Dikemukakan oleh Harry D. Fauzi (2005 : 52) bahwa gaya penuturan dapat diartikan sebagai cara pemakaian bahasa yang spesifik atau khas oleh seorang pengarang atau cara khas pengarang mengungkapkan gagasannya dalam cerita. Gaya penuturan ini akan menentukan nada dan suasana dalam cerita. Oleh karena itu, setiap pengarang mempunyai gaya bercerita yang berbeda-beda, karena gaya erat kaitannnya dalam cara pengarang memilih tema, menyusun dan memilih kata-kata, memandang tema, dan sebagainya.
2.7 Amanat
Amanat menurut Panuti Sudjiman (1992:57) adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya, baik disampaikan secara eksplisit maupun implisit. Selain itu amanat dapat pula berupa suatu jalan keluar dari suatu persoalan yang terdapat dalam cerita. Sejalan dengan pendapat tersebut Mursal Esten (1984:22) mengemukakan bahwa amanat adalah suatu pemecahan dari tema yang di dalamnya merupakan pikiran dan persoalan pengarangnya.
Kita dapat menarik kesimpulan dari kedua pendapat di atas bahwa amanat merupakan pandangan hidup dan cita-cita yang luhur dari seorang pengarang yang ingin disampaikan kepada pembacanya, baik melalui pesan dan ajakan moral maupun melalui ceritanya. Melalui ciptaannya itu pengarang berusaha membukukan dan memberitahukan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diambil oleh pembaca sehingga akan memberikan wawasan yang luas dan baru baginya.
3.      Prinsip Dasar Analisis/Apresiasi Cerita Pendek
Untuk mengapresiasi cerita pendek sebagai salah satu cipta sastra, seorang apresiator harus memiliki bekal awal. Aminuddin (1991: 38) mengemukakan empat macam yang harus dimiliki siswa sebagi bekal awal(prasyarat) dalam menganalisis cerpen, yaitu:
1) kepekaan emosi atau perasan sehingga mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan dalam cipta sastra,
2) pemilikan pengetahuandan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan msalah kemanusiaan, baik melalui penghaytan kehidupan ini maupun dengan membaca buku yang berhubugan dengan masalah kemanusiaan,
3) Pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan
4) Pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang akan berhubungan dengan telaah teori sastra.
Berbagai cara untuk memahami karya sastra muncul seiring dengan laju perekembangan dunia kesusastraan. Cara untuk memahami karya sastra tersebut dinamakan pendekatan.
Abrams (dalam Teeuw, 1984:50) mengemukakan ada empat pendekatan untuk memahami karya sastra, yaitu:
(a)  Pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri; disebut pendekatan objektif;
(b)  Pendekatan yang menitikberatkan pada penulis; yang disebut pendekatan ekspresif;
(c)  Pendekatan yang menitikberatkan pada semetsa; yang disebut mimetik;
(d)  Pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca; yang disebut pragmatik.
Dalam pendekatan objektif, karya sastra dipandang sebagai suatu struktur yang otonom, yang harus dipahami secara intrinsik, terlepas dari hal-hal di luar karya sastra itu. Sementara itu dalam pendekatan ekspresif, penulis mendapat sorotan yang khas, sebagai pencipta yang kreatif, dan jiwa pencipta itu mendapat minat yang utama dalam penilaian dan pembahasan karya sastra. Kemudian dalam kegiatan mimetik, aspek referensial sebagai acuan karya sastra dalam kaitannya dengan dunia nyata mendapat sorotan utama.
Sedangkan Aminuddin (1991:41) mengemukakan enam pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra, yaitu:
a) Pendekatan paraprastis, yaitu pendekatan dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang berbeda;
b) Pendekatan emotif, yaitu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca baik karena keindahan penyajian bentuk maupun isi/gagasan yang lucu dan menarik;
c) Pendekatan analitis, yaitu pendekatan yang berusaha memahami elemen intrisnsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehinga membangun keselarasan dan kesatuan.
d) Pendekatan historis, yaitu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan, serta perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra dari zaman ke zaman.
e) Pendekatan sosiopsikologis, yaitu pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupan atau zamannya pada saat penciptaan karya sastra.
f) Pendekatan didaktis, yaitu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan.
Pendekatan untuk memahami karya sastra tersebut dapat dikatakan sebagai landasan atau prinsip dasar dalam menganalisis karya sastra.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menentukan untuk menggunakan pendekatan objektif/analitis dalam pembelajaran apresiasi cerpen di SMA kelas X. Dengan kata lain penulis akan memfasilitasi siswa dalam menganalisis cerpen-cerpen yang dijadikan bahan pembelajaran berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya. Akan tetapi dalam proses pembelajaran para siswa tidak menganalis cerpen-cerpen tersebut berdasarkan semua unsur intrinsiknya. Analisis yang dilakukan hanya terbatas pada tema, latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang, dan amanat.
4.      Kriteria Pemilihan Bahan Cerita Pendek
Materi Pembelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik hendanya disusun berdasarkan kompetensi yang harus dicapai. Hal ini perlu ditekankan karena pada dasarnya proses belajar mengajar adalah proses pencapaian kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta didik. Oleh karena itu penentuan bahan pembelajaran pun harus memperhatikan Tujuan Pendidikan Nasional. Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003) telah ditentukan bahwa Tujuan Pendidikan Nasional adalah terbentuknya potensi peserta didik yang bertakwa kepada Tuhan yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Selain faktor tujuan, faktor kejiwaan peserta didik pun perlu diperhatikan dalam menentukan bahan pembelajaran cerpen di SMA. Pengetahuan perkembangan kejiwaan peserta didik pun diperlukan untuk memahami gambaran umum perkembangan jiwa siswa SMA yang berumur antara 15-18 tahun yang sedang mengalami transisi dari masa remaja – dewasa.
Adapun cerita pendek yang perlu diajarkan di SMA adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut.
1) Sesuai dengan falsafah pancasila;
2) Bertema kebenaran, kemanusiaan, keadilan, dan ketuhanan;
3) Mencerminkan perasaan cinta tanah air;
4) Tidak terlalu sukar untuk ditafsirkan maknanya;
5) Mengandung nilai didaktis dan estetis.
C.     Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil(Nurhadi, 2002:1).
Dalam kelas kontekstual, strategi belajar lebih penting daripada hasil. Tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru(pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstrutivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar(Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi(Reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya (Nurhadi, 2002:10).
Lebih lanjut Nurhadi mengemukakan penerapan CTL dalam kelas. Secara garis besar langkah-langkahnya sebagai berikut.
(1)  Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilannnya!
(2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik!
(3) Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya!
(4) Ciptakan ‘masyarakat belajar’(belajar dalam kelompok-kelompok)!
(5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran!
(6) Lakukan refleksi dia akhir pertemuan!
(7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara!
D. Course Review Horay
Model pembelajaran Course Review Horay merupakan model pembelajaran yang dapat menciptakan suasana kelas menjadi meriah dan menyenangkan karena setiap siswa yang dapat menjawab benar maka siswa tersebut diwajibkan berteriak’hore!’ atau yel-yel lainnya yang disukai.Jadi, model pembelajaran course review horay ini merupakan suatu model pembelajaran yang dapat digunakan guru agar dapat tercipta suasana pembelajaran di dalam kelas yang lebih menyenangkan. Sehingga para siswa merasa lebih tertarik. Karena dalam model pembelajaran course review horay ini, apabila siswa dapat menjawab pertanyaan secara benar maka siswa tersebut diwajibkan meneriakan kata “hore” ataupun yel-yel yang disukai dan telah disepakati oleh kelompok maupun individu siswa itu sendiri.
Model pembelajaran course review horay juga merupakan suatu metode pembelajaran dengan pengujian pemahaman siswa menggunakan soal dimana jawaban soal dituliskan pada kartu atau kotak yang telah dilengkapi nomor dan untuk siswa atau kelompok yang mendapatkan jawaban atau tanda dari jawaban yang benar terlebih dahulu harus langsung berteriak “horay” atau menyanyikan yel-yel kelompoknya.Jadi, dalam pelaksanaan model pembelajaran course review horay ini pengujian pemahaman siswa dengan menggunakan kotak yang berisi nomor untuk menuliskan jawabannya. Dan siswa yang lebih dulu mendapatkan tanda atau jawaban yang benar harus langsung segera menyoraki kata-kata “horay” atau menyoraki yel-yelnya.
Agar pemahaman konsep materi yang akan dibahas dapat dikaji secara terarah maka seiring dengan perkembangan dunia pendidikan pembelajaran Corse Review Horay menjadi salah satu alternative sebagai pembelajaran yang mengarah pada pemahaman konsep. Pembelajaran Course Review Horay, merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yaitu kegiatan belajar mengajar dengan cara pengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil.
Pembelajaran Course Review Horay yang dilaksanakan merupakan suatu pembelajaran dalam rangka pengujian terhadap pemahaman konsep siswa menggunakan kotak yang diisi dengan soal dan diberi nomor untuk menuliskan jawabannya. Siswa yang paling terdahulu mendapatkan tanda benar langsung berteriak horay atau yel-yel lainnya. Melalui Pembelajaran Course Review Horay diharapkan dapat melatih siswa dalam menyelesaikan masalah dengan pembentukkan kelompok kecil.
Langkah-Langkah Model Pembelajaran Course Review Horay
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Guru menyajikan atau mendemonstrasikan materi sesuai topik dengan tanya jawab
3. Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok.
4. Untuk menguji pemahaman siswa disuruh membuat kartu atau kotak sesuai dengan kebutuhan dan diisi dengan nomor yang ditentukan guru.
5. Guru membaca soal secara acak dan siswa menuliskan jawabannya didalam kartu atau kotak yang nomornya disebutkan guru.
6. Setelah pembacaan soal dan jawaban siswa telah ditulis didalam kartu atau kotak, guru dan siswa mendiskusikan soal yang telah diberikan tadi.
7. Bagi yang benar,siswa memberi tanda check list ( √ ) dan langsung berteriak horay atau menyanyikan yel-yelnya.
8. Nilai siswa dihitung dari jawaban yang benar dan yang banyak berteriak horay .
9. Guru memberikan rewardv pada yang memperoleh nilai tinggi atau yang banyak memperoleh horay.
10. Penutup
Kelebihan Model Pembelajaran Corse Review Horay
a. Pembelajarannya menarik dan mendorong siswa untuk dapat terjun kedalamnya.
b. Pembelajarannya tidak monoton karena diselingi sedikit hiburan sehingga suasana tidak menegangkan.
c. Siswa lebih semangat belajar karena suasana pembelajaran berlangsung menyenangkan
d. Melatih kerjasama
 Kelemahan Model Pembelajaran Course Review Horay
a. Siswa aktif dan pasif nilainya disamakan
b. Adanya peluang untuk curang.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata Mereka tentang Aku

“Kasih sayang sebagai dasar pendidikan” itulah judul artikel yang kubaca pada mala m ini. Artikel ini ditulis  oleh Dr. Dedi Supriadi d...