Senin, 26 November 2012

BAB III PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK CERITA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL SISWA KELAS X RSBI 7 SMA NEGERI I KEDIRI TAHUN 2011/2012


BAB III
           METODOLOGI PENELITIAN
A.      Rancangan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, maka rancangan  penelitian yang dipergunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian yang berbasis kelas atau sekolah untuk melakukan pemecahan berbagai permasalahan yang digunakan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999:1-2).
 Menurut Sukarnyana (2002:11), Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah satu cara yang strategis bagi guru untuk meningkatkan layanan pendidikan melalui penyempurnaan praktik pembelajaran di kelas.  Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini menggunakan model kolaborasi yang mengutamakan kerjasama antara kepala sekolah, guru dan peneliti. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini merupakan upaya untuk mengkaji apa yang terjadi dan telah dihasilkan atau belum tuntas pada langkah upaya sebelumnya. Hasil refleksi digunakan untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam upaya mencapai tujuan penelitian. Dengan kata lain refleksi merupakan pengkajian terhadap keberhasilan atau kegagalan terhadap pencapaian tujuan tindakan pembelajaran.
Pada dasarnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK) memiliki karakteristik yaitu: (1) bersifat situasional, artinya mencoba mendiagnosis masalah dalam konteks tertentu, dan berupaya menyelesaikannya dalam konteks itu; (2) adanya kolaborasi-partisipatoris; (3) self-evaluative, yaitu modifikasi-modifikasi yang dilakukan secara kontinyu – dievaluasi dalam situasi yang terus berjalan secara siklus, dengan tujuan adanya peningkatan dalam praktek nyatanya.
Adapun rancangan (desain) Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model Kemmis & Taggart. Rancangan Kemmis & Taggart dapat mencakup sejumlah siklus, masing-masing terdiri dari tahap-tahap: perencanaan (plan), pelaksanaan dan pengamatan (act & observe), dan refleksi (reflect). Tahapan-tahapan ini berlangsung secara berulang-ulang, sampai tujuan penelitian tercapai. Alur (langkah) pelaksanaan tindakan dimaksud dapat dilihat pada gambar berikut.
B.    Setting dan Karakteristik Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelas X RSBI 7 SMA Negeri I Kediri pada semester 1 tahun pelajaran 2011/2012. Jumlah siswa di kelas terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 17  siswa perempuan. Sedangkan siswa di kelas tersebut memiliki karakteristik yang sama seperti di kelas-kelas yang lain, artinya tingkat kemampuan/prestasi belajar cenderung sama dengan kemampuan/prestasi kelas lainnya.

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK CERITA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL SISWA KELAS X RSBI 7 SMA NEGERI I KEDIRI TAHUN 2011/2012


BAB II
TINJAUAN PUSATAKA DAN KERANGKA TEORI

A.       Pengajaran Cerita Pendek
Pada kenyataannya sastra telah diajarkan kepada siswa untuk seluruh jenjang pendidikan selama ini. Namun disinyalir bahwa pembelajaran sastra belum mencapai hasil yang optimal. Pembelajaran sastra perlu dikembangkan karena pembelajaran tersebut didukung oleh aspek pertimbangan psikologis. Menurut Mulyana (2000:4) peserta didik memiliki pengetahuan dan keingintahuan yang sangat besar. Dengan pengetahuan yang dimiliki, mereka dapat memperoleh kenikmatan dan intelektual dari sebuah karya sastra. Kebutuhan akan pencarian makna estetis dan makna intelektual berkorelasi positif dengan kebutuhan mereka dalam mengembangkan kematangan intelektual dan emosionalnya. Oleh karena itu, Rudy (2003:297) menegaskan bahwa sastra dapat menjadi wahana pencarian makna apabila diajarkan dengan benar.
Pengajaran sastra yang baik dan benar adalah pengajaran yang mengadopsi perspektif estetik dan memberi penekanan pada sudut pandang tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Rosenblatt berikut, “To teach literature correctly is to emphasize the aesthetic stance and to de-emphasize the efferent.” (1978:22-47). Pernyataan tersebut mengindikasikan makna yang signifikan bahwa siswa tidak hanya mengidentifikasi apa yang tertuang dalam karya sastra seperti latar, tokoh dan penokohan, serta alur cerita, tetapi mereka juga dapat mengidentifikasi apa yang ada di luar karya sastra itu sendiri seperti maksud pengarang, simbolisme, gaya cerita dan sebagainya.
Sayangnya, pengajaran sastra di sekolah menengah lebih menekankan sudut pandang efferent; siswa hanya menceritakan kembali kisah perjalanan tokoh cerita dengan segudang permasalahannya. Selanjutnya, perlu dicermati dan ditelusuri perjalanan dan kiprah pengajaran sastra di tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Rudy (2003:298) menandaskan, “Sastra telah diperlakukan secara ‘kurang adil’ di berbagai jenjang pendidikan.” Keprihatinan Rudy muncul bersamaan dengan asumsi yang memposisikan sastra semakin terpojokkan bahwa sastra hanya merupakan pelajaran hafalan untuk beroleh kesenangan, bahwa sastra tidak mampu meningkatkan kompetensi berbahasa siswa. Selain itu, banyak sastrawan yang turut prihatin dengan ketidakmampuan siswa mengapresiasi karya sastra.
Keprihatinan tersebut mereka atasi dengan melakukan kegiatan “Sastrawan ke Sekolah” pada tahun 2006. Demikian halnya dengan pengajaran sastra Inggris di jurusan bahasa Inggris, sangat diabaikan dan dihindari karena kedua asumsi di atas (Zughoul, 1986; Rosenblatt, 1991). Kekurangadilan bagi pengajaran sastra sebagaimana diilustrasikan oleh Moody (1977) adalah sastra menempati kedudukan yang sangat kecil dalam pendidikan bahasa. Keberadaan sastra dalam pendidikan bahasa berdasarkan hasil penelitian Harras (2003:303) belum menyentuh substansi dan mengusung misi utamanya yaitu memberikan pengalaman bersastra kepada peserta didik karena porsi pengajaran sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa. Oleh karena itu, pengajaran sastra harus dipisahkan dari pengajaran bahasa. Pemisahan sastra dari pembelajaran bahasa ditentang oleh Alwasilah (2002) bahwa bahasa dan sastra bukan sebuah dikotomi. Sebagai perbandingan, ia menggambarkan bahwa sastra berada dalam naungan bahasa (language arts) di mancanegara. Dengan demikian, tidak ada argumentasi yang menguatkan temuan Harras bahwa sastra harus dipisahkan dari pengajaran bahasa (Moody, 1977; Rusyana, 2003; Rudy, 2005).
Porsi pengajaran sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa tidak harus menjadi sebuah masalah yang mendasar. Perlu disepakati bersama bahwa permasalahan pokok dalam pembelajaran sastra adalah “teacher as the actor, not the song.” Hal ini tergambar dengan jelas berdasarkan beberapa temuan dan pendapat berikut: pengetahuan guru tentang sastra sangat terbatas (Alwasilah, 1994), sastra diajarkan guru-guru yang tidak profesional (Alwasilah, 1999), guru tidak tahu mengajarkan sastra dengan baik (Wei, 1999) dan guru dan strategi mengajar mereka penyebab rendahnya mutu pengajaran sastra (Mansour, 1999). Pendapat Alwasilah tentang sastra diajarkan oleh guru-guru yang tidak profesional berseberangan dengan temuan Rudy (2005) bahwa sastra dapat diajarkan oleh semua guru bahasa karena komponen terpenting dalam apresiasi sastra adalah strategi mengajar dan mengapresiasinya. Dengan demikian, kesepakatan awal tentang guru yang menjadi masalah utama, bukan karya sastra, pun karena guru belum mengetahui cara mengajarkan sastra dan apresiasinya.
Kualitas pengajaran sastra sejauh ini masih sering dipertanyakan dan diragukan. Kondisi itu diperkirakan oleh adanya kurikulum yang sering berganti-ganti dan alokasi waktu yang dituding sebagai penyebab rendahnya kualitas pengajaran sastra. Bertentangan dengan penafsiran tersebut, berdasarkan fakta empirik yang ditemukan Ismail (2000:115) penyebab dari hal itu adalah metodologi pengajaran sastra yang tidak efisien. Kondisi demikian dipertegas lagi oleh Rosidi (1983:130) bahwa kualitas pembelajaran sastra masih sangat memprihatinkan diindikasikan oleh pengajaran sastra yang seadanya. Penyebabnya adalah kurikulum yang tak jelas arahnya, jumlah pengajar dan kemampuannya tidak memadai, dan materi pengajaran yang jauh dari lengkap. Kedua sastrawan tersebut merupakan stereotipe yang representatif mengeluhkan buruknya pengajaran bahasa dan sastra di seluruh jenjang pendidikan.
Harapan untuk mewujudkan pembelajaran sastra yang estetik terinspirasi dari temuan Ismail (2000) bahwa siswa SMU di Indonesia membaca 0 (nol) karya sastra dan termotivasi berdasarkan data empiris dalam Pikiran Rakyat (2000) bahwa keterampilan menulis siswa Indonesia paling rendah di Asia. Kenyataan di atas didukung oleh hasil observasi Alwasilah (1998) bahwa kaum intelektual rendah mutunya dalam menulis. Untuk itulah sastra perlu diperkenalkan kepada siswa sedini mungkin. Kebiasaan membaca dan mengapresiasi karya sastra dapat menjadikan langkah awal siswa untuk gemar membaca. Ini berarti bahwa salah satu keterampilan berbahasa mulai tumbuh dalam diri siswa. Seiring dengan pertumbuhan kegiatan tersebut, guru dapat meneruskan kegiatan lainnya, yaitu mengapresiasi cerita yang telah dibaca siswa.
Kegiatan mengapresiasi dapat melibatkan kompetensi berbahasa lainnya. Setelah membaca, guru dapat meminta siswa menuliskan kembali (meringkas) cerita dan menuliskan pemeran cerita, karakterisasi, latar cerita. Menurut Rusyana (2003:4) menulis merupakan salah satu kompetensi dalam pembelajaran sastra untuk beroleh kemampuan berekspresi sastra. Ia menyebutkan menulis puisi, cerita pendek, dialog, dongeng dan drama singkat sebagai contoh kegiatan menulis yang dapat dilakukan siswa. Untuk mewujudkan kegiatan tersebut, guru harus menjelaskan bagaimana melibatkan perasaan siswa terhadap tokoh cerita yang dibaca oleh siswa dan bagaimana menghubungkan segala unsur yang ada dalam cerita dengan kehidupan sosial, budaya, dan agama yang dianut oleh mereka.
Perspektif sosial dan budaya dalam mengidentifikasi karya sastra dikemukakan oleh Beach dan Marshall (1991), sedangkan perspektif religi oleh Moody (1970). Cox dan Many (1992:28) mencontohkan Winke, 11 tahun, dapat merespons buku yang baru saja dibacanya A Proud Taste for Scarlet and Miniver, sebuah karya besar berdasarkan kehidupan Eleanor of Aquitaine. Winke merespons isi buku tersebut dengan cara menceritakan kembali apa yang telah dibacanya, mengaitkan hal-hal pokok dalam cerita sesuai dengan perasaan dan pengalamannya. Kemudian ia hubungkan cerita itu dengan buku cerita lain yang pernah dibacanya atau film yang pernah ditontonnya. Pada akhirnya, ia dihadapkan pada keyakinannya tentang apa yang telah dibaca sebagai hasil membaca. Ilustrasi ini mengindikasikan bahwa keterampilan menulis siswa dapat dikembangkan sejak kecil dengan cara merespons karya sastra. Sejalan dengan ilustrasi tersebut, Beach (1990:74) mengungkapkan bahwa kualitas respons siswa dapat ditingkatkan oleh guru. Respons tersebut dapat mengembangkan kemampuan berbahasa karena para siswa menulis secara bebas, menghubungkan respons mereka, mengaitkan tindakan mereka dengan karya yang dibaca serta berbagi pengalaman tentang respons mereka.
Makalah ini membahas pengajaran apresiasi sastra Indonesia dengan mengedepankan respons pembaca dan respons simbol visual sebagai paradima baru yang mampu mengolaborasikan dua respons yang berbeda tersebut untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Makalah ini juga mengelaborasi berbagai hasil penelitian tentang respons pembaca dan respons simbol visual di seluruh tingkat pendidikan.

BAB I PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK CERITA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL SISWA KELAS X RSBI 7 SMA NEGERI I KEDIRI TAHUN 2011/2012 (PTK)


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses perubahan yang terjadi pada diri siswa sebagai hasil dari sejumlah pengalaman yang ditempuh, baik bersifat pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Karena belajar merupakan suatu proses perubahan pada diri seseorang, maka belajar hanya akan terjadi apabila siswa memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk berubah sesuai dengan potensi dan kemampuannya. Sedangkan peranan guru dengan otoritasnya terbatas pada upaya perancangan suatu kondisi yang memungkinkan siswa untuk belajar, dengan berbagai prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab profesi yang dimilikinya (Sukmara, 2005:54).
Hal di atas sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam Bab II pasal 3 Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003:8).
Penulis menggarisbawahi kata ‘berkembangnya’ pada tujuan pendidikan nasional tersebut. Secara semantik kata ‘berkembangnya’ berbeda dengan kata ‘mengembangkan’. Kalau digunakan kelompok kata untuk ‘mengembangkan potensi peserta didik’ berarti penekanannya pada guru/pendidik yang harus lebih aktif berperan dalam pembelajaran. Sedangkan penggunaan kelompok kata ‘berkembangnya potensi peserta didik’ lebih menekankan pada suatu kondisi yang difasilitasi guru agar peserta didik dapat mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
Dalam pengembangan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, kegiatan belajar siswa sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
1) Memberikan peluang bagi siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan sendiri pengetahuan dibawah bimbingan guru atau orang dewasa.
2) Merupakan pola yang mencerminkan ciri khas dalam pengembangan keterampilan mata pelajaran yang bersangkutan.
3) Disesuaikan dengan ragam sumber belajar yang tersedia.
4) Bervariasi dengan mengombinasikan antara kegiatan belajar perorangan, pasangan, kelompok, dan klasikal.
5) Memperhatikan pelayanan terhadap perbedaan individual siswa.
Pembelajaran sastra terutama apresiasi sastra di sekolah bukanlah bertujuan untuk membuat para siswa menjadi sastrawan, melainkan lebih bertujuan untuk membuat mereka mencintai karya sastra bangsanya, mampu memberikan penilaian terhadap karya sastra yang dibacanya dan memanfaatkan karya sastra dalam bidang kehidupan mereka masing-masing.
Karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya, mengandung nilai pendidikan, sosial, kemasyarakatan, psikologis, agama dan sebagainya. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra sulit ditemukan, oleh karena itu perlu diadakan kegiatan analisis. Anton M. Moeliono(1993:37) berpendapat bahwa analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Sejalan dengan pendapat di atas, Jakob Sumardjo(1994:3) menyatakan bahwa bahasa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sastra adalah bentuk rekaman bahasa yang akan disampaikan pada orang lain. Untuk memahami suatu karya sastra tidaklah mudah, banyak segi yang harus dianalisis baik dari unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsiknya.
Sebenarnya para guru sangat beruntung karena mutu dan jenis prosa/cerita ini jumlahnya cukup banyak. Cerpen misalnya, dengan mudah dapat ditemukan dan dipilih yang sesuai dengan tingkat kebahasaan dan disukai oleh siswa. Cerpen memungkinkan seorang siswa hanyut dalam keasyikan membacanya. Sekarang ini banyak cerpen yang sesuai dengan minat dan tingkat kemampuan intelektual anak. Cerpen-cerpen ini jelas dapat dijadikan sarana pendukung untuk memperkaya bacaan dan dapat dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMA.
Meskipun demikian, dalam melaksanakan tugas di lapangan penulis mendapat beberapa permasalahan, yaitu:
1) Banyaknya siswa yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal(KKM), terutama dalam pembelajaran sastra;
2) Rendahnya partisipasi siswa yang aktif dalam pembelajaran sastra;
3) Rendahnya penguasaan siswa terhadap materi prasyarat pembelajaran sastra;
4) Rendahnya kemampuan guru dalam memvariasikan model dan media pembelajaran sastra.
5) Fokus pembelajaran ada pada guru, sedangkan siswa hanya menerima apa-apa yang diberikan guru tanpa melalui aktivitas dan partisipasi yang berarti.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti proses pembelajaran apresiasi sastra di kelas X SMA terutama mengenai peningkatan kemampuan siswa dalam menganalisis unsur  cerita yang disampaikan secara langsung/melalui rekaman melalui pendekatan kontekstual dengan menggunakan model pembelajaran Course Review Horay.

Minggu, 18 November 2012

IMBUHAN (AFIKS)


Imbuhan atau afiks adalah bentuk morfem terikat yang melekat pada salah satu kata, baik kata dasar ataupun kata jadian. Imbuhan berperan dalam proses pembentukan kata dasar menjadi kata jadian.
Di bawah ini terdapat beberapa penjelasan tentang imbuhan. 

1. Jenis afiks menurut tempatnya: 

a.  awalan/ prefiks: meng, ber, ter, ke, peng, per, dan seterusnya.
b.  akhiran/ sufiks: -an, -kan, -i
c.  sisipan/ infiks: ke-an, per-an, peng-an, dan seterusnya.
d.  konfiks 

2. Jenis afiks menurut penggunaannya: 

1.  Afiks produktif: yaitu afiks yang memiliki frekuensi pemakaian yang tinggi.
Contoh: se-, meng-, ber-, peng-, per-, dan seterusnya.
2.  Afiks tak produktif: yaitu afiks yang frekuensi pemakaiannya tidak tinggi.
Contoh: -em, -el, -er, -wati, -is, -nda, dan seterusnya.
3.  Afiks asing/ afiks serapan:
a. Akhiran dari bahasa Sansekerta: -wan, -wati, -man
b. Akhiran dari bahasa Arab: -i, -wi, -in, -at, -ah
c. Akhiran dari bahasa Barat:-isme, -tas, -ika, -logi, -is, (asi), dsb (kata benda), -al, -or, -if, -is, dsb.

3. Makna imbuhan

Makna proses pengimbuhan atau afiksasi senantiasa berhubungan dengan fungsi semantik dari suatu bentuk kompleks. Hal ini bisa kita lihat pada contoh-contoh makna afiksasi pada beberapa imbuhan berikut ini:

a.      meng-
mempunyai variasi makna sebagai berikut:
membuat: menggambar, menyate
menuju ke: melaut, menepi, mendarat
memberi : menandai, menopang, menomori
mengeluarkan: membuih, menyanyi
berlaku seperti: merajalela, membabi buta
menuju: melaut, mendarat
b.      ber-
mempunyai makna gramatikal:
dalam keadaan (statif): berbahagia
kumpulan: bertiga, berempat
mempergunakan: berbaju, bersepeda
menjadi: bertamu, berpisah
c.       ter-
mempunyai variasi makna gramatikal:
 superlatif (paling) : tercantik, tertinggi
tidak sengaja: tertidur, tertunduk
dapat di-: tercium, tercapai
hasil tindakan: tersebar, terpecah
d.      peng-
orang yang di-: petatar, pesuruh,
orang yang bersifat: pemarah, pemalas
alat: pemukul, penggaris
pelaku tindakan : pencopet, penjual

Keterangan:
Makna gramatikal dari imbuhan yang lain dapat dicari/diterka dari konteks kalimatnya. Prinsipnya, makna gramatikal muncul karena kaitan antarkata.

4. Fungsi afiks

a.  Prefiks meng-, dan ber-
Prefik meng- dan ber berfungsi sebagai pembentuk kata kerja aktif transitif: memukul, membaca
b.  Prefiks ter- dan di-  
pembentuk kata kerja pasif: terbeli, terbaca, dibeli, dibaca
pembentuk kata sifat (ter): tercantik, terpandang, tertinggi
c.  Prefiks ke-
pembentuk kata bilangan tingkat : kesatu, kedua, dan seterusnya
pembentuk kata bilangan kumpulan : kedua, ketiga, dan seterusnya
d.Konfiks ke-an
pembentuk kata benda: kedamaian
pembentuk kata sifat: kekecilan
pembentuk kata kerja pasif: kehujanan, kedinginan, kepanasan

Fungsi afiks yang lain dapat dicoba dengan cara dikaitkan dengan fungsi struktural dari kalimat yang dibentuknnya.

Senin, 12 November 2012

JENIS KALIMAT MENURUT BENTUK GAYANYA (RETORIKANYA)


Tulisan akan lebih efektif jika di samping kalimat-kalimat yang disusunnya benar, juga gaya penyajiannya (retorikanya) menarik perhatian pembacanya. Walaupun kalimat-kalimat yang disusunnya sudah gramatikal, sesuai dengan kaidah, belum tentu tulisan itu memuaskan pembacanya jika segi retorikanya tidak memikat. Kalimat akan membosankan pembacanya jika selalu disusun dengan konstruksi yang monoton atau tidak bervariasi. Misalnya, konstruksi kalimat itu selalu subjek-predikat-objek-ketengan, atau selalu konstruksi induk kalimat-anak kalimat.
Menurut gaya penyampaian atau retorikanya, kalimat majemuk dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu (1) kalimat yang melepas (induk-anak), (2) kalimat yang klimaks (anak-induk), dan (3) kalimat yang berimbang (setara atau campuran).
A. Kalimat yang Melepas
Jika kalimat itu disusun dengan diawali unsur utama, yaitu induk kalimat dan diikuti oleh unsur tembahan, yaitu anak kalimat, gaya penyajian kalimat itu disebut melepas. Unsur anak kalimat ini seakan-akan dilepaskan saja oleh penulisnya dan kalaupun unsur ini tidak diucapkan, kalimat itu sudah bermakna lengkap.
Misalnya:
a. Saya akan dibelikan vespa oleh Ayah jika saya lulus ujian sarjana.
b. Semua warga negara harus menaati segala perundang-undangan yang berlaku agar kehidupan di negeri ini berjalan dengan tertib dan aman.
B. Kalimat yang Klimaks
Jika kalimat itu disusun dengan diawali oleh anak kalimat dan diikuti oleh induk kalimat, gaya penyajian kalimat itu disebut berklimaks. Pembaca belum dapat memahami kalimat tersebut jika baru membaca anak kalimatnya. Pembaca akan memahami makna kalimat itu setelah membaca induk kalimatnya. Sebelum kalimat itu selesai, terasa bahwa ada sesuatu yang masih ditunggu, yaitu induk kalimat. Oleh karena itu, penyajian kalimat yang konstruksinya anak-induk terasa berklimaks, dan terasa membentuk ketegangan.
Misalnya:
a. Karena sulit kendaraan, ia datang terlambat ke kantornya.
b. Setelah 1.138 hari disekap dalam sebuah ruangan akhirnya tiga sandera warga negara Prancis itu dibebaskan juga.
C. Kalimat yang Berimbang
Jika kalimat itu disusun dalam bentuk majemuk setara atau majemuk campuran, gaya penyajian kalimat itu disebut berimbang karena strukturnya memperlihatkan kesejajaran yang sejalan dan dituangkan ke dalam bangun kalimat yang bersimetri.
Misalnya :
1. Bursa saham tampaknya semakin bergairah, investor asing dan domestik berlomba melakukan transaksi, dan IHSG naik tajam.
2. Jika stabilitas nasional mantap, masyarakat dapat bekerja dengan tenang dan dapat beribadat dengan leluasa.
Ketiga gaya penyampaian tadi terdapat pada kalimat majemuk. Adapun kalimat pada umumnya dapat divariasikan menjadi kalimat yang panjang-pendek, aktif-pasif, inversi, dan pengedepanan keterangan.

Sabtu, 10 November 2012

TEKNIK MENULIS BERITA



Konsep berita dan kriteria umum nilai berita berlaku universal. Artinya tidak hanya berlaku untuk Surat kabar, tabloid, dan majalah saja, tetapi juga berlaku untuk radio, televisi, film dan bahkan juga media on line internet. Secara universal pula misalnya, berita ditulis dengan menggunakan teknik melaporkan (to report), merujuk kepada pola piramida terbalik (inverted pyramid), dan mengacu kepada rumus 5WIH. 

Berita televisi, yang amat mengandalkan kekuatan suara dan gambar bergerak, senantiasa merujuk pada teknik, pola dan rumus tersebut dalam program siaran berita mereka. Sedangkan dalam penulisannya, seperti dituturkan Muda (2003:48-58) berita televisi- lebih menyukai formula gampang didengar (easy listening). la mengutip dari Soren H. Munhoff dalam Five Star Approach To News Writing dengan akronim ABSCS, yaitu singkatan dari accuracy (tepat), brevity (singkat), clarity Oelas), simplicity (sederhana), dan sincerity (jujur).Begitu pula dengan berita radio, teknik melaporkan, pola piramida terbalik, dan rumus 5W1H tetap dijadikan acuan pokok. Hanya dalam penulisannya, berita radio lebih menyukai formula A + B + C = C. Keempat huruf itu merupakan kependekan dari accuracy (keakuratan), balance (keseimbangan), dan clarity (kejelasan). Hasil penjumlahan ketiga unsur itu adalah credibility (kredibilitas). Bahasan selengkapnya tentang pola penulisan berita televisi dan radio ini, disajikan pada bagian lain bab ini.

1.        Pola Penulisan Piramida Terbalik
Dalam teknik melaporkan (to report), setiap jurnalis, yakni wartawan atau reporter, tidak boleh memasukkan pendapat pribadi dalam berita yang ditulis, dibacakan, atau ditayangkannya. Berita adalah laporan tentang fakta secara apa adanya (das Sein), bukan laporan tentang fakta bagaimana seharusnya (das Sollen). Berita adalah fakta objektif. Sebagai fakta objektif, berita harus bebas dari intervensi siapa pun dan dari pihak mana pun termasuk dari kalangan jurnalis, editor, dan kaum investor media massa itu sendiri.
Untuk menjaga prinsip objektivitas itulah, mengapa setiap jurnalis dituntut untuk senantiasa bersikap jujur (sincerity). Ia tidak boleh manipulasi atau merekayasa fakta dan kebenaran. Ia tidak boleh menambah atau mengurangi fakta yang ditemukannya. Ia harus memegang teguh prinsip, itu sampai kapan pun. Ingatlah selalu, jurnalis adalah seorang reporter. Seorang reporter berarti seorang pelapor. Seorang pelapor berarti harus objektif. Apa pun yang dikatakan atau ditulisnya harus dapat dipercaya.

BERITA



1.        Pengertian Berita
Berita (news) merupakan sajian utama sebuah media masa di samping views (opini). Mencari bahan berita lalu menyusunnya merupakan tugas pokok wartawan dan bagian redaksi sebuah penerbitan per (media massa). Tidak ada rumusan tunggal mengenai pengertian berita. Bahkan, "News is difficult to define, because it involves many variabel factors", kata Earl English dan Clrarence Hach. Berita sulit didefinisikan, sebab ia mencakup banyak faktor variabel. "Berita lebih mudah dikenali daripada diberi batasannya", timpal Irving Resenthall dan Marton Yarmen.
Namun demikian, banyak pakar komunikasi mencoba merumuskan definisi (batasan pengertian) berita, dengan penekanan yang berbeda terhadap unsur yang dikandung sebuah berita. Nothclife, misalnya, menekankan pengertian berita pada unsur "keanehan" atau ketidaklaziman, sehingga mampu menarik perhatian dan rasa ingin tahu (curiosity). la mengatakan, "Jika seekor anjing menggigit orang, itu bukanlah berita. Tetapi jika orang menggigit anjing, itulah berita" (If a dog bites a man, it is not news. But if a man bites a dog is news). Kita boleh sepakat dan tidak sepakat atas pandangan Nothclife tersebut. Karena, jika yang digigit anjing itu orang terkenal, misalnya artis populer atau seorang kepala negara, ia tetap merupakan berita menarik. Positifnya, kita menerima penekanannya bahwa berita yang balk dan layak dicari dan dibuat, sekaligus layak muat di media massa antara lain mengandung unsur "keanehan" itu. Sehingga, berita yang kita buat dibaca orang. Misalnya, informasi tentang kambing berkaki lima, kelahiran bayi berkepala dua, seorang ibu melahirkan saat ibadah haji, dan semacamnya.
Pakar lain seperti Dean M. Lyle Spencer, Willard C. Bleyer, William S. Maulsby, dan Eric C. Hepwood, seperti dikutip Dja'far H. Assegaff (1983 : 5), sama-sama menekankan unsur "menarik perhatian" dalam definisi serta yang mereka buat. "Berita adalah laporan tentang suatu kejadian yang dapat menarik perhatian pembaca," kata. mereka. Micthel V. Charnley mengemukakan pengertian berita yang lebih lengkap dan untuk keperluan praktis layak kita jadikan acuan. la mengatakan "Berita adalah laporan tercepat dari suatu peristiwa atau kejadian yang faktual, penting, dan menarik bagi sebagian besar pembaca, Serta menyangkut kepentingan mereka".Dari pengertian tersebut, kita melihat terdapat empat unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah berita, sekaligus menjadi "karakteristik utama" sebuah berita dapat dipublikasikan di media massa (layak muat). Keempat unsur ini pula yang dikenal dengan nilai-nilai berita (news values) atau nilai-nilai jurnalistik. Cepat, yakni aktual atau ketepatan waktu. Dalam unsur ini terkandung makna harfiah berita (news), yakni sesuatu yang baru (new). "Tulisan jurnalistik," kata Al Hester, "adalah tulisan yang memberi pembaca pemahaman atau informasi yang tidak ia ketahui sebelumnya." Nyata (faktual), yakni informasi tentang sebuah fakta (fact), bukan fiksi atau karangan. Fakta dalam dunia jurnalistik terdiri dari kejadian nyata (real event), pendapat (opinion), dan pernyataan (statement) sumber berita. Dalam unsur ini terkandung pula pengertian, sebuah berita harus merupakan informasi tentang sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya atau laporan mengenai fakta sebagaimana adanya. "Seorang wartawan harus menulis apa yang benar Saja," ujar M.L. Stein (1993:26), seraya mengingatkan, "Jangan sekali-kali ia mengubah fakta untuk memuaskan hati seseorang atau suatu golongan. Jika sumber anda dapat dipercaya, itulah yang paling penting." Penting, artinya menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya peristiwa yang akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat secara luas, atau dinilai perlu untuk diketahui dan diinformasikan kepada orang banyak, seperti kebijakan baru pemerintah, kenakan harga, dan sebagainya.Menarik, artinya mengundang orang untuk membaca berita yang kita tulis. Berita yang biasanya menarik perhatian pembaca, disamping yang aktual dan faktual Serta menyangkut kepentingan orang banyak, juga berita yang bersifat menghibur (lucu), mengandung keganjilan atau keanehan, atau berita human interest (menyentuh emosi, menggugah perasaan). Secara ringkas dan praktis dapat disimpulkan berita adalah laporan peristiwa yang memenuhi keempat unsur tersebut – karena tidak semua peristiwa layak dilaporkan. Dengan demikian, seorang reporter hendaknya mampu membedakan mana peristiwa yang mempunyai nilai berita dan mana yang biasa-biasa Saja.

Kata Mereka tentang Aku

“Kasih sayang sebagai dasar pendidikan” itulah judul artikel yang kubaca pada mala m ini. Artikel ini ditulis  oleh Dr. Dedi Supriadi d...