Senin, 09 Juli 2012

Wartawan Profesional


Wartawan, begitu mudah kata-kata ini diucapkan. Bahkan kini semakin banyak orang yang ingin menyandang predikat dan namanya. Padahal, sesungguhnya kerja dan tugas wartawan tidaklah semudah membayangkan kata-kata ‘wartawan’ itu sendiri. Kerja kewartawanan tidak hanya cukup membutuhkan kemampuan atau keterampilan dalam menulis serta membuat berita saja. Disamping keterampilan dalam merangkai kata demi kata dan memiliki kemampuan berbahasa yang baik, kerja kewartawanan memerlukan pula keberanian moral serta keteguhan sikap.
Bekerja sebagai wartawan memiliki gengsi tersendiri,bahkan sebagian orang menilai profesi sebagai wartawan memiliki prestise yang tinggi. Terlepas dari aspek kesejahteraan ,bekerja sebagai wartawan memiliki citra yang relative lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya.hal ini dikarenakan profesi wartawan dianggap sebagai profesi yang didalamnya memadukan kekuatan pengetahuan dan keterampilan.
Pers di era seperti sekarang ini membutuhkan wartawan yang bukan hanya sekadar ‘wartawan teknolog’ atau ‘wartawan tukang’. Pers di era ini memerlukan wartawan yang mampu mengajak masyarakat tergugah, tergerak dan terbakar semangatnya untuk berpartisipasi dalam gerak pembangunan di segala bidang melalui pemberitaan-pemberitaannya. Wartawan harus mampu menggugah masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan di bidang agama, hukum, ekonomi, pertanian, industri, kelestarian lingkungan, politik, sosial, budaya dan sebagainya.
Untuk benar-benar mampu menjadi jurnalis dan bukan hanya sekadar ‘wartawan teknolog’, wartawan haruslah bisa mendalami serta menghayati suatu perkembangan yang ada di dalam kehidupan masyarakat serta melihatnya dengan ‘mata hati’ yang dalam. Dengan kata lain, wartawan harus mampu mengkorelasikan suatu permasalahan atau gejala sosial dengan berbagai aspek.
Dalam menjalankan tugasnya , seorang wartawan harus memiliki bekal mentalitas yang kuat. Kejujuran, tanggung jawab, dan akurat dalam setiap penyajian berita harus menjadi komitmen yang melekat dalam diri wartawan. Untuk menjadi seorang wartawan diperlukan kemampuan praktik dan teoritik yang mumpuni. Profesi wartawan membutuhkan latar belakang pribadi yang kuat, di samping dituntut profesionalisme dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Berpijak dari persoalan – persoalan itulah, penulis ingin mengulas secara detail tentang syarat wartawan profesional.

2                Wartawan
Seperti kita ketahui dalam istilah atau pengetahuan umum, wartawan adalah orang-orang yang pekerjaannya mencari berita. Berita-berita yang dicari dan ditulis oleh wartawan selanjutnya dikirmkan ke meja redaksi media atau pers untuk dipublikasikan. Kegiatan mencari berita, mengolah berita, menulis berita dan menyusun berita tersebut akhirnya menjelma atau menjadi sebuah profesi.
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1996 Pasal 1 dan 3 juga dengan jelas disebutkan bahwa:
"Kewartawanan ialah pekerjaan/kegiatan/usaha yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan, radio, televisi dan film"
Sedangkan dalam pengertian sempitnya, kewartawanan bisa difahami sebagai kegiatan yang berhubungan bentuk penulisan untuk media komunikasi massa (media of mass communication).
       Profsionalisme
Ada banyak pengertian tentang profesionalisme wartawan. Namun sebelum beranjak lebih jauh tentang apa itu profesionalisme wartawan maka ada baiknya jika kita menelaah terlebih dahulu apa itu profesionalitas. Profesionalitas atau profesionalisme merupakan perkembangan dari kata profesi. Profesi ini tentu berbeda dengan hanya sekedar pekerjaan. Sahala dalam tulisannya Wartawan, Pekerja atau Profesi? Yang dimuat di situs Perhimpuan Jurnalis Indonesia Jawa Barat menyebutkan ada banyak ilmuwan yang memiliki versi tersendiri tentang karakteristik profesi.
-       Terence J. Johnson menyebutkan bahwa profesi memiliki enam kriteria, yaitu keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan teoretis, penyediaan pelatihan dan pendidikan, pengujian kemampuan anggota, organisasi, kepatuhan kepada suatu aturan main profesional, dan jasa pelayanan yang sifatnya altruistik.
-       B. Barber menyatakan bahwa profesi memiliki empat ciri, yakni pengetahuan umum yang tinggi, lebih berorientasi kepada kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, adanya pengawasan ketat atas perilaku pribadi melalui kode etik yang dihayati dalam proses sosialisasi pekerjaan, serta melalui asosiasi-asosiasi sukarela yang diorganisasikan dan dijalankan oleh para pekerja spesialis itu sendiri, dan sistem balas jasa (berupa uang dan kehormatan) yang merupakan lambang prestasi kerja, sehingga menjadi tujuan, bukan alat untuk mencapai tujuan kepentingan pribadi.
-        Brandeis berpendapat bahwa pekerjaan yang disebut profesi adalah pekerjaan yang memiliki dukungan berupa: ciri-ciri pengetahuan, diabdikan untuk kepentingan orang lain, keberhasilannya bukan didasarkan pada keuntungan finansial, didukung oleh organisasi (asosiasi) profesi yang tugasnya, antara lain, menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik serta bertanggung jawab dalam memajukan dan menyebarkan profesi yang bersangkutan, dan ditentukan adanya standar kualifikasi profesi.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa profesi adalah sebuah pekerjaan yang menuntut pengetahuan yang tinggi, didedikasikan pada masyarakat umum, diwadahi dalam sebuah organisasi profesi yang bisa mengatur kode etik profesi.

       Wartawan Profesional
Ada beberapa pengertian wartawan professional menurut beberapa ahli , diantaranya :
a.    Menurut Budiman S Hartoyo wartawan yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (ketrampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b.    John Hohenberg dalam bukunya “The Professional Journalist” mengatakan, wartawan yang baik (profesional) adalah wartawan yang dapat bergerak cepat, tepat dan sigap, namun tenang. Ia cepat mengerti peristiwa (sumber informasi), tidak hanya melihat peristiwa apa yang terjadi tetapi juga meneliti mengapa hal itu terjadi dan bagaimana pula kelanjutannya nanti. Kemudian ia memiliki pandangan luas, tegas dan praktis, berpandangan mendalam, selalu berhati-hati tapi tidak bimbang. Memiliki cara berpikir bebas tapi bertanggungjawab, selalu sistematis tapi bukan ‘teks book’. Dan yang terpenting, ia bekerja lebih banyak dibanding berita atau tulisan yang dibuatnya.
c.    Sementara Floyd G. Arpan memberikan lima syarat kepada wartawan untuk bisa menjadi wartawan yang baik (profesional). Kelima syarat itu meliputi: menguasai bahasa, mengetahui jiwa kemanusiaan, berpengetahuan luas, kematangan pikiran dan ketajaman pikiran.
Jika disimpulkan maka wartawan profesional adalah wartawan yang memahami tugasnya, dengan kata lain wartawan profeional adalah wartawan yang memiliki keterampilan untuk melakukan reportase dan mengolah karya-karya jurnalistik sesuai dengan nilai yang berlaku, memiliki independensi dari objek liputan dan kekuasaan, memiliki hati nurani serta memegang teguh kode etik jurnalistik yang diatur oleh organisasi profesi yang diikutinya.
        Kompetensi Wartawan Profesional
Seorang wartawan harus dapat melaksanakan tugas pemberitaan yang menjunjung tinggi objektivitas dan profesionalisme, di samping memperhatikan tanggung jawab yang harus diembannya. Berkaitan dengan kompetensi wartawan , Kitty Yancheff ( 2000 ) menyebutkan ada 10 kompetensi yang harus dimiliki wartawan profesional, antara lain :
1.      Kompetensi penulisan
2.      Kompetensi berbicara
3.      Kompetensi riset dan investigasi
4.      Kompetensi pengetahuan dasar
5.      Kompetensi dasar web
6.      Kompetensi audio visual
7.      Kompetensi aplikasi computer
8.      Kompetensi etika
9.      Kompetensi legal
10.  Kompetensi karier
Adapun secara umum kita kerap kali mendefinisikan wartawan profesional sebagai wartawan yang memegang teguh 9 elemen jurnalisme  Bill Kovach. Sembilan elemen jurnalisme tersebut antara lain :
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran;
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara;
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi;
4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya;
5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari
kekuasaan;
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi;
7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan;
8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional;
9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
       Syarat – Syarat  Wartawan Profesional
Floyd G. Arpan memberikan lima syarat kepada wartawan untuk bisa menjadi wartawan yang baik (profesional). Kelima syarat itu meliputi: menguasai bahasa, mengetahui jiwa kemanusiaan, berpengetahuan luas, kematangan pikiran dan ketajaman pikiran.
1.      Pengetahuan bahasa
Pengetahuan bahasa memang merupakan syarat utama bagi setiap wartawan atau jurnalis. Tanpa penguasaan terhadap bahasa, maka wartawan tidak akan mampu menulis berita dengan baik. Untuk itu, wartawan harus memahami bahasa (Indonesia), mengetahui atau mengerti tentang segala aspek bahasa serta pemakaiannya dan kaya akan perbendaharaan kata.
2.      Mengetahui jiwa kemanusiaan,
Mengetahui jiwa kemanuasiaan terasa sebagai syarat yang berlebihan. Sehingga muncul pertanyaan, “Apakah wartawan diharuskan juga belajar dan membaca buku tentang Ilmu Jiwa dan memperdalam psikologi?”
Tetapi sesungguhnya hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Meskipun dipandang ‘berat’, tapi wartawan memiliki kewajiban untuk dapat mengerti tentang Ilmu Jiwa tersebut. Sebab, pengetahuan jiwa kemanusiaan akan sangat penting dan sangat mendukung keberhasilan kerja wartawan.
Di dalam tugasnya sehari-hari, wartawan senantiasa berhadapan dengan masyarakat dari segala macam lapisan. Sejak dari lapisan masyarakat kelas atas, sampai ke lapisan paling bawah. Sejak dari pejabat tinggi, sampai ke pengemis di jalanan.
Dengan mengetahui bagaimana kejiwaan seseorang yang kita hadapi, maka akan mudah dihadapi. Memahami dan mengerti Ilmu Kejiwaan akan mempermudah wartawan dalam menyusun taktik, cara atau strategi dalam menghadapi narasumber.
3.      Berpengetahuan luas
Berpengetahuan luas juga syarat terpenting bagi setiap wartawan. Wartawan dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, tidak saja pada bidang atau permasalahan kerja yang dihadapi, tetapi juga pada masalah-masalah umum lainnya.
Salah satu cara paling efektif bagi wartawan, rajin mengikuti perkembangan dunia dan rajin pula membaca buku-buku pengetahuan yang bermutu. Wartawan tidak hanya cukup lena dengan buku-buku tentang jurnalistik atau komunikasi saja, tetapi juga harus berusaha mendalami buku-buku pengetahuan lainnya, seperti masalah kesehatan (kedokteran), hukum, ekonomi, politik, kebudayaan, sosiologi, psikologi, filsafat, budaya, pertanian, lingkungan hidup, teknologi, ruang angkasa, agama dan lainnya lagi.
4.      Kematangan pikiran
Kematangan pikiran atau kedewasaan pandangan diperlukan bagi setiap wartawan. Sehingga wartawan tersebut tidak bekerja secara sembrono, asal-asalan dan seenaknya. Menurut Floyd, wartawan harus punya landasan-landasan yang jernih mengenai etika, moral dan tanggung jawab terhadap perkembangan tatanan nilai-nilai serta budaya masyarakat di sekitarnya.
Melalui kematangan pikiran, wartawan bersangkutan akan dapat meraih kepercayaan dari publik pembacanya tentang seberapa jauh kualitas dari berita yang disajikan. Suatu berita yang disajikan dari kerja sembrono, asal-asalan atau penuh kesewenang-wenangan akan menggoyahkan kepercayaan pembaca terhadap kualitas atau mutu berita tersebut.
5.      Ketajaman pikiran
Ketajaman pikiran sebagai syarat kelima yang diberikan Floyd tidak bisa ditinggalkan begitu saja oleh setiap wartawan atau jurnalis. Wartawan yang baik atau profesional tentu saja harus tajam pikirannya, cerdas, sigap dan lincah menghadapi berbagai permasalahan yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Ketika  melakukan aktivitas kerjanya, wartawan akan menemui berbagai permasalahan atau persoalan di masyarakat yang sangat kompleks dan memerlukan jalan pemecahan cukup pelik.
Banyak permasalahan begitu sukar untuk bisa diketahui atau diteliti sebagai bahan berita yang menarik bagi pembaca. Permasalahan itu ditutupi sekian banyak ‘tabir’ dan hambatan, sehingga tidak begitu saja mudah diketahui dan diungkap ke permukaan. Misalnya dalam melacak kasus korupsi atau manipulasi yang melibatkan sejumlah pejabat pemerintahan atau orang ‘terkemuka’ lainnya, wartawan akan menghadapi banyak hambatan yang bersifat birokrasi dan terselubung.
Untuk mengatasinya, wartawan haruslah memiliki ketajaman pikiran guna menelusuri secara teliti dan cermat, sehingga akhirnya kasus manipulasi itu dapat terungkap secara utuh.
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat dalam bukunya “ Jurnalistik Teori dan Praktik “ menyebutkan ada empat kualitas yang harus dimiliki oleh seorang wartawan , antara lain :
1.      Pengalaman
Wartawan – wartawan masa kini mendasarkan pengalamannya untuk pengetahuan kerja mereka dari pendidikan ( perguruan tinggi ) dari berbagai disiplin ilmu yang memasuki profesi jurnalistik. Akan tetapi ada beberapa wartawan yang berasal dari disiplin ilmu di luar jurnalistik. Mereka mendapatkan ketrampilan dari pengalaman.
2.      Rasa ingin tahu
Ketika seorang wartawan meliput sebuah peristiwa, akan muncul berbagai pertanyaan. Hal ini dikarenakan wartawan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Pertanyaan – pertanyaan yang muncul itu akan menguntungkan wartawan karena ia dapat memperoleh banyak informasi tentang peristiwa itu daripada yang diperlukan pembaca.
3.      Daya khayal
Daya  khayal disebut juga imajinasi. Menurut Charnley wartawan pun menggunakan daya khayalnya tetapi dengan caranya sendiri. Wartawan mengumpulkan fakta – fakta yang tampaknya tidak saling berkaitan lalu mempertautkannya dalam sebuah konteks  sehingga tercipta sebuah realitas. Pers tidak hanya mengungkapkan peristiwa – peristiwa yang terjadi secara actual dan factual, tetapi juga harus mengungkapkan hal – hal yang ada kaitannya sebelum peristiwa terjadi . Hal ini berguna agar masyarakat dapat mengantisipasi peristiwa – peristiwa yang terjadi sejak dini.sehingga bila peristiwa tersebut benar – benar terjadi , dampak yang lebih membahayakan dapat dihindari orang banyak. Pemberitaan semacam ini bukan meramalkan , melainkan meraik kesimpulan yang cerdas berdasarkan pengetahuan dan pengamatan imajinatif.
4.      Pengetahuan
Seorang wartawan setidaknya meguasai ilmu pengetahuan kemasayarakatan. Seorang wartawan yang tidak menguasai pengetahuan kemasyarakatan akan sulit mepersepsikan dinamika yang dialami masyarakat. Kedaan masyarakat Indonesia sekarang jauh lebih kompleks daripada keadaan beberapa dekade lalu. Lebih – lebih masyarakat Indonesia di era reformasi sekarang jauh lebih membingungkan keadaannya dibandingkan masyarakat masih berada di era orde baru. Hal inilah yang membuat wartawan perlu memiliki pengetahuan luas untuk mengenali peristiwa yang memilki nilai berita.

Profil Wartawan Profesional
Ada beberapa tokoh wartawan profesional di Indonesia. Salah satunya adalah Karni Ilyas. Karni Ilyas bukanlah sebuah nama yang asing di bidang jurnalisme, baik cetak maupun elektronik. Karni berangkat dari media cetak pada 1972 yakni harian Suara Karya sebelum pada 1978 pindah ke majalah Tempo. Sebelum ditugaskan menjadi pemimpin redaksi majalah hukum Forum pada 1992, jabatan terakhirnya di TEMPO adalah redaktur pelaksana.


Tahun 2000, Karni Ilyas hengkang ke SCTV menjadi pemimpin redaksi. Dapat kita lihat pemberitaan SCTV semenjak diasuh oleh Karni menjadi eksklusif dan bahkan menjadi salah satu acara berita yang ditunggu oleh pemirsa. Setelah saham SCTV dijual oleh pemilik lama, Karni kemudian pindah ke ANTV. Sejak saat itu liputan berita ANTV menjadi semakin eksklusif seperti liputan detik-detik penggerebekan Azahari yang hanya diliput ANTV. Bahkan saat itu Karni sebagai pemempin redaksi juga ikut turun langsung ke lapangan. Lepas dari ANTV, Karni berkiprah di TVOne. Saluran televisi yang memiliki porsi berita 60% -70% ini juga sering menayangkan berita-berita eksklusif. Hal ini menyebabkan Karni Ilyas selalu diasangkutpautkan dengan kehebatannya dalam mendapatkan berita-berita eksklusif atau A1. Hal ini tentu tidak didapat dengan Cuma-Cuma. Namun merupakan hasil jerih payah Karni dalam membangun jaringan dan membuka kran sumber-sumber berita eksklusif.
Berita-berita yang dihasilkan Karni inilah yang membuat Karni adalah salah satu wartawan profesional. Kegigihannya dalam menembus jaringan dan sumber berita tanpa meningglakan etika jurnalistik patut diacungi jempol. Hal ini menunjukkan bahwa Karni memiliki kualifikasi sebagai seorang wartawan profesional yang memiliki pengetahuan yang tinggi, bekerja demi kepentingan umum dan mematuhi kode etik yang berlaku.
Adapun perusahaan pers yang bisa dianggap profesional salah satunya adalah Metro TV. Sebagai satu-satunya saluran televisi yang berani mengkhususkan diri pada pemberitaan, Metro TV memiliki wartawan yang memiliki profesionalitas. Stasiun TV ini pada awalnya memiliki konsep agak berbeda dengan yang lain, sebab selain mengudara selama 24 jam setiap hari, stasiun TV ini hanya memusatkan acaranya pada siaran warta berita saja. Tetapi dalam perkembangannya, stasiun ini kemudian juga memasukkan unsur hiburan dalam program-programnya. Metro TV adalah stasiun pertama di Indonesia yang menyiarkan berita dalam bahasa Mandarin: Metro Xin Wen, dan juga satu-satunya stasiun TV di Indonesia yang tidak menayangkan program sinetron. Metro TV juga menayangkan siaran internasional berbahasa Inggris pertama di Indonesia Indonesia Now yang dapat disaksikan dari seluruh dunia. Stasiun ini juga dikenal memiliki presenter berita terbanyak di Indonesia.

      Simpulan

1.         Wartawan profesional adalah wartawan yang memiliki keterampilan untuk melakukan reportase dan mengolah karya-karya jurnalistik sesuai dengan nilai yang berlaku, memiliki independensi dari objek liputan dan kekuasaan, memiliki hati nurani serta memegang teguh kode etik jurnalistik yang diatur oleh organisasi profesi yang diikutinya.
2.         Ada 10 kompetensi yang harus dimiliki wartawan profesional, antara lain : kompetensi penulisan, kompetensi berbicara, kompetensi riset dan investigasi, kompetensi pengetahuan dasar, kompetensi dasar web, kompetensi audio visual, kompetensi aplikasi computer, kompetensi etika, kompetensi legal, kompetensi karier. Selain itu, seorang wartawan professional  memegang teguh 9 elemen jurnalisme  Bill Kovach, antara lain :
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran;
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara;
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi;
4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya;
5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari
kekuasaan;
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi;
7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan;
8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional;
9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
3. Floyd G. Arpan memberikan lima syarat kepada wartawan untuk bisa menjadi wartawan yang baik (profesional). Kelima syarat itu meliputi: menguasai bahasa, mengetahui jiwa kemanusiaan, berpengetahuan luas, kematangan pikiran dan ketajaman pikiran. Sementara, Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat dalam bukunya “ Jurnalistik Teori dan Praktik “ menyebutkan ada empat kualitas yang harus dimiliki oleh seorang wartawan , antara lain: pengalaman, rasa ingin tahu, daya khayal, dan pengetahuan.

Saran
  Saran penulis bagi pembaca yang tertarik menggeluti bidang jurnalisme khususnya menjadi seorang wartawan, berusahalah menjadi seorang wartawan professional, patuhilah kode etik wartawan Indonesia, pasti kesuksesan menyertai anda.


 DAFTAR PUSTAKA


Yunus,Syarifudin.2010.Jurnalistik Terapan. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Selasa, 12 Juni 2012

Kalimat Penutup pada Surat Resmi

Surat merupakan sarana komunikasi tulis. Agar dapat dipahami oleh pem­bacanya, di dalam penulisan surat (resmi), penulis perlu mempertim­bangkan faktor kesederhana­an, kesantunan bahasa, kelugasan kalimat, ke­cermatan dan ketepatan dalam pemilihan kata dan struktur kalimat, serta keserasian atak. Walau­pun demikian, faktor kelaziman juga perlu diper­hatikan. Oleh karena itu, bagian isi surat selalu terdiri atas bagian pem­buka, bagian isi, dan bagian pe­nutup.
Bagian penutup surat dapat berupa harapan pengirim surat atau ucap­an terima kasih kepada penerima surat. Hingga saat ini masih terdapat kalimat pada bagian penutup surat resmi sebagai berikut.
(1) Demikian agar Saudara maklum adanya.
(2) Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih.
(3) Demikian, atas perhatian Bapak, kami haturkan terima kasih.
Setiap surat yang dikirimkan tentu diharapkan untuk dapat dimaklumi oleh pene­rima surat. Oleh karena itu, pernyataan seperti pada kalimat (1) tidak diperlukan lagi. Selain itu, pernyataan pada kalimat (1) "Demikian agar Saudara maklum adanya" bukanlah sebuah kalimat yang lengkap karena tidak memiliki subjek dan predikat.
Pernyataan itu hanya berupa anak kalimat yang tidak disertai induk kalimatnya. Oleh karena itu, pernyataan itu dapat dikatakan mubazir karena tidak informatif. Pada kalimat (2) penggunaan kata ganti-nya pada Atas perhatiannya di­ucapkan terima kasih tidak jelas mengacu kepada siapa. Bentuk -nya itu lebih tepat jika diganti dengan kata sapaan untuk orang kedua, seperti Saudara, Bapak, atau Anda karena komunikasi yang terjadi di dalam surat ialah komuni­kasi antara pihak pertama dan ke­dua. Selain itu, peng­gunaan imbuhan di- pada kata diucapkan terasa tidak masuk akal karena secara logika akan timbul pertanyaan, "Siapakah yang mengucapkan teri­ma kasih itu." Ucapan terima kasih itu disampaikan oleh penulis surat kepada penerima surat. Oleh karena itu, kalimat penutup surat yang dapat digunakan ialah, Atas per­hatian Saudara, kami sampaikan ucapan
terima kasih. Pada contoh kalimat penutup surat nomor (3), Demikian atas per­hatian Bapak, kami haturkan terima kasih. Kata demikiantidak diperlu­kan pada penutup surat itu karena penggunaan kata itu tidak memberikan informasi apa pun. Selain itu, penggunaan kata haturkan tidaklah tepat karena kata haturkan itu masih bersifat kedaerahan, sedangkan surat yang dibuatnya adalah surat resmi, yang menuntut penggunaan kosakata baku bahasa Indone­sia. Oleh karena itu, kata haturkan lebih tepat jika diganti dengan kata ucapkan apabila kita menekankan pada keinginan untuk mengucapkan sesuatu, atau kata sampaikan apa­bila kita memang ingin menyampaikan sesuatu, yaitu ucap­an terima kasih kepada penerima surat. Jadi, di dalam penulisan surat dinas, pada kalimat penutup surat se­baik­­nya tidak digunakan kata-kata yang masih bersifat kedaerahan dan tidak digunakan kata-kata yang tidak memberikan kejelasan informasi.

Urutan Kata dan Maknanya

Tadi Malam dan Malam Tadi
Ada sementara orang yang beranggapan bahwa gabungan kata tadi malam tidak baku.
Bentuk yang baku ialah malam tadi. Namun, benar­kah anggapan itu? Dalam hal itu, ada beberapa hal yang perlu diperhati­kan sehubungan dengan contoh tersebut.
Pertama-tama yang harus kita perhatikan ialah masalah urutan kata. Pada umum­nya, gabungan kata bahasa Indonesia mengikuti kaidah hu­kum DM. Marilah kita simak contoh di bawah ini.
bank sirkulasi -------- sertifikat
deposito
bank berantai -------- sertifikat obligasi
cek terbayar -------- uang palsu
cek tolakan -------- uang lunak
Pada contoh itu terlihat bahwa semua kata yang berada di sebelah kiri atau yang dicetak tebal, yaitu bank, cek, sertifikat, dan uang, berfungsi sebagai unsur di­terangkan (D). Jadi, semua gabungan kata di atas mengikuti kaidah hukum DM.
Hal kedua yang perlu diperhatikan ialah masalah makna. Dalam bahasa Indonesia ada gabungan kata yang apabila diubah urutannya akan berubah pula maknanya. Perhatikan contoh berikut.
tabungan berhadiah berhadiah tabungan
hijau rumput rumput hijau
Gabungan kata tabungan berhadiah berarti 'tabungan yang menyediakan hadiah', sedangkan gabungan kata berhadiah tabungan berarti 'mempunyai hadiah yang berupa tabungan'.
Gabungan kata hijau rumput adalah istilah untuk warna yang hijaunya seperti warna rumput, sedangkan rumput hijau adalah sebuah gabungan kata yang me­ngandung makna 'rumput yang berwarna hijau'. Jadi, makna kedua bentuk kata itu berbeda/tidak sama. Kata hijau pada hijau rumput merupakan kata yang diterangkan (D), sedangkan kata rumput menerangkan kata yang di depannya (M). Kata rumput pada rumput hijau merupakan kata yang diterang­kan, sedangkan kata hijau me­nerangkan kata yang di depannya (M).
Hal ketiga yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat sejumlah gabungan kata yang urutannya berdasarkan MD, bukan DM. Contoh untuk itu ialah perdana menteri dan mayor jenderal. Pada contoh itu kata yang terletak di sebelah kanan berfungsi sebagai unsur inti atau unsur yang diterangkan (D), sedangkan unsur yang terletak di sebelah kiri berfungsi sebagai unsur penjelas atau yang menerangkan (M).
Hal keempat atau terakhir yang perlu dicatat ialah bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat gabungan kata yang urutan unsur-unsurnya dapat dipertukar­kan letaknya (DM atau MD), tetapi tidak mengubah makna dasarnya. Ambillah contoh sejenak bersantai dan bersantai sejenak. Perbedaan kedua urutan kata itu terletak pada masalah pengutamaan un­sur. Sejenak bersantai mengutama­kan waktunya (sejenak), sedangkan bersantai sejenak mengutamakan kegiatan­nya
(bersantai).
Gabungan kata tadi malam dan malam tadi mempunyai perilaku yang sama
dengan sejenak bersantai dan bersantai sejenak. Tadi malam dipakai
untuk meng­utamakan waktu lampaunya (tadi), sedangkan malam tadi dipakai untuk mengutamakan harinya (malam). Dengan kata lain, baik tadi malam maupun malam tadi dapat digunakan dengan pengutamaan yang berbeda.
Perlu ditambahkan keterangan bahwa pengubahan urutan kata dalam tadi malam dan malam tadi bukanlah masalah tata bahasa semata, melain­kan me­nyangkut ma­salah retorika atau gaya bahasa, yakni masalah pe­ngedepanan unsur yang dianggap penting dan yang dianggap kurang penting. Unsur yang di­pentingkan dikedepankan posisinya.
Kondisi struktur tadi malam dan malam tadi itu tampaknya tidak dapat
disamakan dengan kondisi struktur hari ini dan ini hari. Dalam
hal itu, bentuk hari ini lebih tepat daripada bentuk ini hari.

Minggu, 10 Juni 2012

Bila Mauku Maumu

Maumu bukan mauku
mauku tak seperti maumu
maumu tak seperti mauku
maumu harus kuikuti maumu
mauku harus kau ikuti mauku
kita sama - sama tak mau
maumu semau - mau kamu
mauku semau - mau aku
kubilang tak mau
kaubilang harus mau
mau mau mau 
tak mau tak mau tak mau 
lalu apa maumu?
aku mau kamu semau sama aku
mauku maumu sama - sama mau
mauku maumu
maumu mauku
mau... mau...
mau...






Mereka - Mereka dan Nenek - Nenek

Dalam suatu kesempatan seorang ketua panitia mengajak para undangan yang hadir dengan mengatakan sebagai berikut.
(1) Bapak dan Ibu yang saya hormati, siapa lagi yang mau memikirkan nasib mereka kalau bukan kita-kita yang hadir sekarang?
Kita perhatikan pemakaian kata kita-kita. Mengapa kata kita harus
diulang? Bukan­kah kata ganti kita sudah menyatakan pengertian jamak?
Kata ganti kita adalah kata ganti orang pertama jamak. Kalau digunakan untuk menyatakan pengertian jamak dengan mengulang menjadi kita-kita, pengulangan itu jelas mubazir. Kalau kita perhatikan konteksnya, peng­ulangan kata ganti kita menjadi kita-kita tersebut berlebihan. Seharusnya, ketua panitia cukup mengatakan sebagai berikut.
(1a) Bapak dan Ibu yang saya hormati, siapa lagi yang mau memikirkan nasib mereka kalau bukan kita yang hadir sekarang?
Pertanyaan yang muncul sekarang, "Apakah kata ganti yang sudah menyatakan pengertian jamak seperti kita atau mereka tidak boleh diulang dalam penggunaannya?" Tentu saja tidak selalu harus demikian. Dalam hal itu, peng­guna bahasa perlu mem­pertimbangkan konteks pemakaian kata itu di dalam kalimat. Perhatikanlah contoh-contoh kalimat berikut.
(2) Akhirnya, kita-kita juga yang harus menyelesaikan pekerjaan ini.
(3) Dari dahulu mereka-mereka saja yang dilibatkan dalam kegiatan itu.
Kata ulang kita-kita dan mereka-mereka pada kalimat (2) dan (3) menyatakan makna 'selalu', 'selalu kita', dan 'selalu mereka'. Penggunaan kata ulang seperti itu, yang lebih sering kita temukan dalam ragam lisan, tidaklah mubazir. Namun, dalam ragam tulis kata ulang kita-kita, mereka-mereka ter­golong mubazir, seperti yang terlihat pada contoh kali­mat berikut.
(4) Selesai atau tidaknya pekerjaan itu bergantung pada kita-kita yang ada di sini.
(5) Bantuan itu seharusnya tidak dibagikan kepada mereka-mereka yang ter­golong mampu.
Kata ulang kita-kita dan mereka-mereka pada kalimat (4) dan (5)
dipakai untuk mengacu kepada orang yang jumlahnya banyak. Padahal, kata kita dan mereka sudah menyatakan pengertian jamak. Oleh karena itu, penggunaan bentuk kata ulang seperti itu tidak benar.
Bagaimana halnya dengan pengulangan kata nenek menjadi nenek­nenek, seperti yang tercantum di dalam topik bahasan ini? Tampaknya, pengulangan kata yang seperti itu ternyata tidak hanya menyatakan
pengertian jamak. Marilah kita simak kalimat yang berikut.
(6) Tempat duduk bagi nenek-nenek yang diundang untuk menghadiri per­temuan itu diatur dalam kelompok tersendiri.
(7) Harap dimaklumi saja, dia ‘kan sudah nenek-nenek.
(8) Hampir setiap hari nenek-nenek saja yang diperhatikan.
Kata ulang nenek-nenek pada kalimat (6) maknanya menyatakan jumlah banyak, sedangkan pada kalimat (7) bermakna ‘seperti wanita yang sudah tidak muda lagi atau yang sudah berusia lanjut'. Kata ulang nenek-nenek pada kalimat (8) menyatakan pengertian (1) selalu nenek, (2) seperti atau mirip, dan (3) selalu.

Paling Lama atau Paling Lambat

Di dalam berbagai pasal undang-undang yang mengatur sanksi sering ditemukan istilah paling lama dan paling lambat. Kadang-kadang kedua istilah itu digunakan secara tidak tepat, sebagaimana contoh berikut.
(1) Putusanpengadilan tingkat banding diucapkan paling lama dua minggu setelah sidang banding pertama dilakukan.
Contoh itu terasa tidak masuk akal karena sebuah putusan tidak diucapkan sampai mencapai durasi paling lama dua minggu. Bukankah pengucapan sesuatu hanya berlangsung sesaat? Yang dimaksud dengan pernyataan pada kalimat (1) ialah 'batas waktu', atau 'batas akhir' pengeluaran putusan, bukan lama waktu sesuatu diucapkan. Untuk itu,istilah yang tepat ialah paling lambat, bukan paling lama dan verba yang digunakan bukan diucapkan, melainkan mi­salnya dikeluarkansehingga kalimat (1) itu diperbaiki seperti berikut.
(la) Putusan pengadilan tingkat banding dikeluarkan paling lambat dua minggu setelah sidang banding pertama dilakukan.
Istilah paling lama digunakan untuk menunjukkan 'rentang waktu','durasi', atau 'lama waktu sesuatu berlangsung' seperti pernyataan berikut ini.
(2) ... dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Paling lama pada contoh (2) berarti 'rentang waktu terkena pidana penjara' atau 'lama waktu pidana penjara berlangsung'. Selainpaling lambat pada kalimat (la) dan paling lama pada kalimat (2), dapat juga digunakan selambat-lambatnya dan selama-lamanya sehingga masing-masing dapat diubah seperti berikut.
(1b) Putusan pengadilan tingkat banding diucapkan selambat-lambatnya dua minggu setelah sidang banding pertama dilakukan.
(2a) ... dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau denda paling banyak Rp l.000.000.000, 00 (satu miliar ru­piah). Paling lama juga bermakna 'terlama' seperti contoh berikut.
(3) Saya pernah menetap di beberapa kota, tetapi yang paling lama/ terlama di Jakarta.
Paling lambat tidak selalu bermakna 'terlambat' sebab terlambat dapat juga bermakna 'telah lewat waktu'. Pertimbangkan contoh berikut.
(4) Dia peserta yang terlambat/paling lambat, bukan peserta yang ter­cepat dalam lomba lari cepat pagi ini.
(5) la tidak boleh masuk sebab datang terlambat.
Makna terlambat pada kalimat (4) berarti 'paling lambat' atau 'paling rendah kecepatannya di antara peserta', tetapi terlambat pada kalimat (5) berarti 'telah lewat waktu' atau 'telah lewat batas akhir' (masuk).

sumber :  http://badanbahasa.kemdikbud.go.id

Kata Mereka tentang Aku

“Kasih sayang sebagai dasar pendidikan” itulah judul artikel yang kubaca pada mala m ini. Artikel ini ditulis  oleh Dr. Dedi Supriadi d...