BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar
merupakan suatu proses perubahan yang terjadi pada diri siswa sebagai hasil
dari sejumlah pengalaman yang ditempuh, baik bersifat pengetahuan, sikap,
maupun keterampilan. Karena belajar merupakan suatu proses perubahan pada diri
seseorang, maka belajar hanya akan terjadi apabila siswa memiliki dorongan dari
dalam dirinya untuk berubah sesuai dengan potensi dan kemampuannya. Sedangkan
peranan guru dengan otoritasnya terbatas pada upaya perancangan suatu kondisi
yang memungkinkan siswa untuk belajar, dengan berbagai prakarsa, motivasi, dan
tanggung jawab profesi yang dimilikinya (Sukmara, 2005:54).
Hal
di atas sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam Bab II
pasal 3 Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 yaitu untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003:8).
Penulis
menggarisbawahi kata ‘berkembangnya’ pada tujuan pendidikan nasional tersebut.
Secara semantik kata ‘berkembangnya’ berbeda dengan kata ‘mengembangkan’. Kalau
digunakan kelompok kata untuk ‘mengembangkan potensi peserta didik’ berarti
penekanannya pada guru/pendidik yang harus lebih aktif berperan dalam
pembelajaran. Sedangkan penggunaan kelompok kata ‘berkembangnya potensi peserta
didik’ lebih menekankan pada suatu kondisi yang difasilitasi guru agar peserta
didik dapat mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
Dalam pengembangan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, kegiatan belajar siswa sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
Dalam pengembangan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, kegiatan belajar siswa sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
1)
Memberikan peluang bagi siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan sendiri
pengetahuan dibawah bimbingan guru atau orang dewasa.
2)
Merupakan pola yang mencerminkan ciri khas dalam pengembangan keterampilan mata
pelajaran yang bersangkutan.
3)
Disesuaikan dengan ragam sumber belajar yang tersedia.
4)
Bervariasi dengan mengombinasikan antara kegiatan belajar perorangan, pasangan,
kelompok, dan klasikal.
5)
Memperhatikan pelayanan terhadap perbedaan individual siswa.
Pembelajaran
sastra terutama apresiasi sastra di sekolah bukanlah bertujuan untuk membuat
para siswa menjadi sastrawan, melainkan lebih bertujuan untuk membuat mereka
mencintai karya sastra bangsanya, mampu memberikan penilaian terhadap karya
sastra yang dibacanya dan memanfaatkan karya sastra dalam bidang kehidupan
mereka masing-masing.
Karya
sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya, mengandung nilai pendidikan,
sosial, kemasyarakatan, psikologis, agama dan sebagainya. Nilai-nilai yang
terkandung dalam sebuah karya sastra sulit ditemukan, oleh karena itu perlu
diadakan kegiatan analisis. Anton M. Moeliono(1993:37) berpendapat bahwa
analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan
sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Sejalan
dengan pendapat di atas, Jakob Sumardjo(1994:3) menyatakan bahwa bahasa sastra
adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan,
ide, semangat, keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang membangkitkan pesona
dengan alat bahasa.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sastra adalah bentuk rekaman bahasa yang akan
disampaikan pada orang lain. Untuk memahami suatu karya sastra tidaklah mudah,
banyak segi yang harus dianalisis baik dari unsur intrinsik maupun unsur
ekstrinsiknya.
Sebenarnya
para guru sangat beruntung karena mutu dan jenis prosa/cerita ini jumlahnya
cukup banyak. Cerpen misalnya, dengan mudah dapat ditemukan dan dipilih yang
sesuai dengan tingkat kebahasaan dan disukai oleh siswa. Cerpen memungkinkan
seorang siswa hanyut dalam keasyikan membacanya. Sekarang ini banyak cerpen
yang sesuai dengan minat dan tingkat kemampuan intelektual anak. Cerpen-cerpen
ini jelas dapat dijadikan sarana pendukung untuk memperkaya bacaan dan dapat
dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMA.
Meskipun demikian, dalam melaksanakan tugas di lapangan penulis mendapat beberapa permasalahan, yaitu:
Meskipun demikian, dalam melaksanakan tugas di lapangan penulis mendapat beberapa permasalahan, yaitu:
1)
Banyaknya siswa yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal(KKM), terutama
dalam pembelajaran sastra;
2)
Rendahnya partisipasi siswa yang aktif dalam pembelajaran sastra;
3)
Rendahnya penguasaan siswa terhadap materi prasyarat pembelajaran sastra;
4)
Rendahnya kemampuan guru dalam memvariasikan model dan media pembelajaran
sastra.
5)
Fokus pembelajaran ada pada guru, sedangkan siswa hanya menerima apa-apa yang
diberikan guru tanpa melalui aktivitas dan partisipasi yang berarti.
Berdasarkan
hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti proses pembelajaran
apresiasi sastra di kelas X SMA terutama mengenai peningkatan kemampuan siswa
dalam menganalisis unsur cerita yang
disampaikan secara langsung/melalui rekaman melalui pendekatan kontekstual
dengan menggunakan model pembelajaran Course Review Horay.