BAB II
TINJAUAN
PUSATAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Pengajaran Cerita Pendek
Pada kenyataannya
sastra telah diajarkan kepada siswa untuk seluruh jenjang pendidikan selama
ini. Namun disinyalir bahwa pembelajaran sastra belum mencapai hasil yang
optimal. Pembelajaran sastra perlu dikembangkan karena pembelajaran tersebut
didukung oleh aspek pertimbangan psikologis. Menurut Mulyana (2000:4) peserta
didik memiliki pengetahuan dan keingintahuan yang sangat besar. Dengan
pengetahuan yang dimiliki, mereka dapat memperoleh kenikmatan dan intelektual
dari sebuah karya sastra. Kebutuhan akan pencarian makna estetis dan makna
intelektual berkorelasi positif dengan kebutuhan mereka dalam mengembangkan
kematangan intelektual dan emosionalnya. Oleh karena itu, Rudy (2003:297)
menegaskan bahwa sastra dapat menjadi wahana pencarian makna apabila diajarkan
dengan benar.
Pengajaran sastra
yang baik dan benar adalah pengajaran yang mengadopsi perspektif estetik dan
memberi penekanan pada sudut pandang tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat
Rosenblatt berikut, “To teach literature correctly is to emphasize the
aesthetic stance and to de-emphasize the efferent.” (1978:22-47). Pernyataan
tersebut mengindikasikan makna yang signifikan bahwa siswa tidak hanya
mengidentifikasi apa yang tertuang dalam karya sastra seperti latar, tokoh dan
penokohan, serta alur cerita, tetapi mereka juga dapat mengidentifikasi apa
yang ada di luar karya sastra itu sendiri seperti maksud pengarang, simbolisme,
gaya cerita dan sebagainya.
Sayangnya, pengajaran
sastra di sekolah menengah lebih menekankan sudut pandang efferent; siswa hanya
menceritakan kembali kisah perjalanan tokoh cerita dengan segudang
permasalahannya. Selanjutnya, perlu dicermati dan ditelusuri perjalanan dan
kiprah pengajaran sastra di tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Rudy (2003:298) menandaskan, “Sastra telah diperlakukan secara ‘kurang adil’ di
berbagai jenjang pendidikan.” Keprihatinan Rudy muncul bersamaan dengan asumsi
yang memposisikan sastra semakin terpojokkan bahwa sastra hanya merupakan
pelajaran hafalan untuk beroleh kesenangan, bahwa sastra tidak mampu
meningkatkan kompetensi berbahasa siswa. Selain itu, banyak sastrawan yang
turut prihatin dengan ketidakmampuan siswa mengapresiasi karya sastra.
Keprihatinan tersebut
mereka atasi dengan melakukan kegiatan “Sastrawan ke Sekolah” pada tahun 2006.
Demikian halnya dengan pengajaran sastra Inggris di jurusan bahasa Inggris,
sangat diabaikan dan dihindari karena kedua asumsi di atas (Zughoul, 1986;
Rosenblatt, 1991). Kekurangadilan bagi pengajaran sastra sebagaimana
diilustrasikan oleh Moody (1977) adalah sastra menempati kedudukan yang sangat
kecil dalam pendidikan bahasa. Keberadaan sastra dalam pendidikan bahasa berdasarkan
hasil penelitian Harras (2003:303) belum menyentuh substansi dan mengusung misi
utamanya yaitu memberikan pengalaman bersastra kepada peserta didik karena
porsi pengajaran sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa. Oleh karena
itu, pengajaran sastra harus dipisahkan dari pengajaran bahasa. Pemisahan
sastra dari pembelajaran bahasa ditentang oleh Alwasilah (2002) bahwa bahasa
dan sastra bukan sebuah dikotomi. Sebagai perbandingan, ia menggambarkan bahwa
sastra berada dalam naungan bahasa (language arts) di mancanegara. Dengan
demikian, tidak ada argumentasi yang menguatkan temuan Harras bahwa sastra
harus dipisahkan dari pengajaran bahasa (Moody, 1977; Rusyana, 2003; Rudy,
2005).
Porsi pengajaran
sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa tidak harus menjadi sebuah
masalah yang mendasar. Perlu disepakati bersama bahwa permasalahan pokok dalam
pembelajaran sastra adalah “teacher as the actor, not the song.” Hal ini
tergambar dengan jelas berdasarkan beberapa temuan dan pendapat berikut: pengetahuan
guru tentang sastra sangat terbatas (Alwasilah, 1994), sastra diajarkan
guru-guru yang tidak profesional (Alwasilah, 1999), guru tidak tahu mengajarkan
sastra dengan baik (Wei, 1999) dan guru dan strategi mengajar mereka penyebab
rendahnya mutu pengajaran sastra (Mansour, 1999). Pendapat Alwasilah tentang
sastra diajarkan oleh guru-guru yang tidak profesional berseberangan dengan
temuan Rudy (2005) bahwa sastra dapat diajarkan oleh semua guru bahasa karena
komponen terpenting dalam apresiasi sastra adalah strategi mengajar dan
mengapresiasinya. Dengan demikian, kesepakatan awal tentang guru yang menjadi
masalah utama, bukan karya sastra, pun karena guru belum mengetahui cara mengajarkan
sastra dan apresiasinya.
Kualitas pengajaran
sastra sejauh ini masih sering dipertanyakan dan diragukan. Kondisi itu
diperkirakan oleh adanya kurikulum yang sering berganti-ganti dan alokasi waktu
yang dituding sebagai penyebab rendahnya kualitas pengajaran sastra.
Bertentangan dengan penafsiran tersebut, berdasarkan fakta empirik yang
ditemukan Ismail (2000:115) penyebab dari hal itu adalah metodologi pengajaran
sastra yang tidak efisien. Kondisi demikian dipertegas lagi oleh Rosidi
(1983:130) bahwa kualitas pembelajaran sastra masih sangat memprihatinkan
diindikasikan oleh pengajaran sastra yang seadanya. Penyebabnya adalah
kurikulum yang tak jelas arahnya, jumlah pengajar dan kemampuannya tidak
memadai, dan materi pengajaran yang jauh dari lengkap. Kedua sastrawan tersebut
merupakan stereotipe yang representatif mengeluhkan buruknya pengajaran bahasa
dan sastra di seluruh jenjang pendidikan.
Harapan untuk
mewujudkan pembelajaran sastra yang estetik terinspirasi dari temuan Ismail
(2000) bahwa siswa SMU di Indonesia membaca 0 (nol) karya sastra dan
termotivasi berdasarkan data empiris dalam Pikiran Rakyat (2000) bahwa
keterampilan menulis siswa Indonesia paling rendah di Asia. Kenyataan di atas
didukung oleh hasil observasi Alwasilah (1998) bahwa kaum intelektual rendah
mutunya dalam menulis. Untuk itulah sastra perlu diperkenalkan kepada siswa
sedini mungkin. Kebiasaan membaca dan mengapresiasi karya sastra dapat
menjadikan langkah awal siswa untuk gemar membaca. Ini berarti bahwa salah satu
keterampilan berbahasa mulai tumbuh dalam diri siswa. Seiring dengan
pertumbuhan kegiatan tersebut, guru dapat meneruskan kegiatan lainnya, yaitu
mengapresiasi cerita yang telah dibaca siswa.
Kegiatan
mengapresiasi dapat melibatkan kompetensi berbahasa lainnya. Setelah membaca,
guru dapat meminta siswa menuliskan kembali (meringkas) cerita dan menuliskan
pemeran cerita, karakterisasi, latar cerita. Menurut Rusyana (2003:4) menulis
merupakan salah satu kompetensi dalam pembelajaran sastra untuk beroleh
kemampuan berekspresi sastra. Ia menyebutkan menulis puisi, cerita pendek,
dialog, dongeng dan drama singkat sebagai contoh kegiatan menulis yang dapat
dilakukan siswa. Untuk mewujudkan kegiatan tersebut, guru harus menjelaskan
bagaimana melibatkan perasaan siswa terhadap tokoh cerita yang dibaca oleh
siswa dan bagaimana menghubungkan segala unsur yang ada dalam cerita dengan
kehidupan sosial, budaya, dan agama yang dianut oleh mereka.
Perspektif sosial dan
budaya dalam mengidentifikasi karya sastra dikemukakan oleh Beach dan Marshall
(1991), sedangkan perspektif religi oleh Moody (1970). Cox dan Many (1992:28)
mencontohkan Winke, 11 tahun, dapat merespons buku yang baru saja dibacanya A
Proud Taste for Scarlet and Miniver, sebuah karya besar berdasarkan kehidupan
Eleanor of Aquitaine. Winke merespons isi buku tersebut dengan cara
menceritakan kembali apa yang telah dibacanya, mengaitkan hal-hal pokok dalam
cerita sesuai dengan perasaan dan pengalamannya. Kemudian ia hubungkan cerita
itu dengan buku cerita lain yang pernah dibacanya atau film yang pernah
ditontonnya. Pada akhirnya, ia dihadapkan pada keyakinannya tentang apa yang
telah dibaca sebagai hasil membaca. Ilustrasi ini mengindikasikan bahwa
keterampilan menulis siswa dapat dikembangkan sejak kecil dengan cara merespons
karya sastra. Sejalan dengan ilustrasi tersebut, Beach (1990:74) mengungkapkan
bahwa kualitas respons siswa dapat ditingkatkan oleh guru. Respons tersebut
dapat mengembangkan kemampuan berbahasa karena para siswa menulis secara bebas,
menghubungkan respons mereka, mengaitkan tindakan mereka dengan karya yang
dibaca serta berbagi pengalaman tentang respons mereka.
Makalah ini membahas
pengajaran apresiasi sastra Indonesia dengan mengedepankan respons pembaca dan
respons simbol visual sebagai paradima baru yang mampu mengolaborasikan dua
respons yang berbeda tersebut untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor. Makalah ini juga mengelaborasi berbagai hasil penelitian tentang
respons pembaca dan respons simbol visual di seluruh tingkat pendidikan.
B. Cerita Pendek
1.
Pengertian Cerita Pendek.
Sampai kini belum ada
kesamaan pendapat tentang pengertian cerpen yang paling tepat sehuingga dapat
diterima setiap orang. Banyak ahli dan peminat sastra yang berpendapat bahwa
memberikan batasan cerita pendek lebih sulit daripada memperlihatkan atau
menunjukkan cerpen itu sendiri. Walaupun demikian berikut ini penulis kutipkan
beberapa pendapat tentang pengertian tersebut sebagai bahan untuk memahami
sebuah cerita pendek.
Harry D. Fauzi
(2005:61) mengemukakan bahwa cerita pendek atau cerpen adalah bentuk karangan
prosa fiksi yang pendek, jumlah katanya berkisar antara seribu hingga lima ribu
kata. Cerpen dikembangkan dan diarahkan kepada insiden atau peristiwa tunggal
yang berkaitan erat dengan pelaku utamanya. Bagi penulis cerpen tidak ada
kesempatan untuk mengembangkan karakter pelaku-pelakunya secara rinci.
Beberapa batasan lain
menekankan pada tunggalnya kejadian dalam cerpen itu sendiri. Jakob Sumardjo
dan Saini K.M. (1994:37) berpendapat bahwa cerpen adalah cerita atau narasi
fiktif yang relatif pendek dan hanya mengandung satu peristiwa untuk satu efek
bagi pembacanya. Dikemukakan pula oleh Ellery Sadwich (dalam Tarigan, 1993:197)
bahwa cerpen adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok
keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca.
Beberapa ciri yang tampak pada sebuah cerpen dikemukakan oleh Ristiani (2003:4) sebagai berikut.
Beberapa ciri yang tampak pada sebuah cerpen dikemukakan oleh Ristiani (2003:4) sebagai berikut.
1.
Relatif lebih pendek (sebab ada pula cerpen yang panjang);
2.
Terdiri atas 1.000 sampai 5.000 kata (tidak menjadi ukuran mutlak);
3.
Dapat dibaca selesai dalam sekali duduk;
4.
Kesan tunggal diperoleh dalam sekali baca(caranya dengan mengarahkan plot pada
insiden/peristiwa tunggal);
5.
Tokoh jarang dikembangkan karena langsung ditunjukkan karakternya;
6.
Karakter di dalam cerpen lebih merupakan penunjukan daripada perkembangan
7.
Dimensi waktu terbatas;
8.
Kualitas cerpen bersifat pendataan, pemusatan, dan pendalaman;
9.
Mencapai keutuhan secara ekslusi;
10.
Membiarkan hal-hal yang dianggap tidak pokok;
11.
Hanya mengungkapkan satu masalah tunggal;
12.
Menunjukkan adanya kebulatan kisah;
13.
Pemusatan perhatian pada satu tokoh utama, pada satu situasi tertentu.
Rincian mengenai
ciri-ciri cerpen dapat disimpulkan dengan memperhatikan beberapa pendapat di
atas. Ciri-ciri tersebut adalah: Pertama, bentuk cerpen berupa cerita rekaan
atau narasi fiktif (bukan analisis argumentatif); kedua, sifat narasi fiktif
cerpen menuntut adanya satu kejadian atau terkonsentrasi hanya pada satu
peristiwa. Ketiga, bahan atau isinya berupa kehidupan; keempat, relatif pendek;
dan kelima menggunanakan media bahasa. Dari ciri-ciri tersebut dapat
disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita fiksi atau rekaan yang relatif singkat,
mengungkapkan suatu kesan dari pragmen kehidupan manusia, berpusat pada suatu
peristiwa dan merupakan suatu kesatuan yang utuh serta dinyatakan dalam bahasa
tulis.
2. Unsur-unsur Cerita
Dalam upaya memahami
suatu karya sastra khususnya cerita pendek, Harry D. Fauzi (2005:44)
mengemukakan dua cara , yakni pendekatan terhadap unsur-unsur
intrinsik(pendekatan objektif) dan pendekatan melalui unsur-unsur ekstrinsiknya(pendekatan
mimetik atau ekspresif). Memahami unsur intrinsik berarti memiliki kemampuan
dalam menganalis aspek-aspek struktur cerita yang meliputi, tema, alur, latar,
penokohan, sudut pandang, dan gaya penuturan.
Unsur intrinsik
adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam, yaitu hal-hal yang
berhubungan dengan struktur karya sastra yang meliputi tema, latar,
penokohan/perwatakan, alur, sudut pandang, gaya, suasana, dan amanat. Sedangkan
unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun atau mempengaruhi karya sastra
dari luar atau latar belakang penciptan karya sastra itu sendiri. (Sumardjo,
1994:37).
2.1 Tema
Tema
menurut Stanton dan Kenny (dalam Ristiani, 2003:70) adalah makna yang dikandung
oleh sebuah cerita. Tema adalah ide sebuah cerita yang ingin dikatakan
pengarang kepada pembacanya, baik masalah keghidupan, pandangan hidupnya
tentang kehidupan, maupun komentarnya terhadap kehidupan ini. Tema menjadi
dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian
cerita.
Menurut
Jakob Sumardjo (1994:57) mencari arti sebuah cerpen, pada dasarnya adalah
mencari tema yang terkandung dalam cerpen tersebut. Dengan demikian betapa
pentingnya keberadaan tema dalam sebuah cerita, sehingga tema sering sekali disebut
sebagai ide pusat atau ide inti dalam sebuah cerita.
2.2 Latar (Setting)
Dikemukan
oleh Eddy (dalam Ristiani, 2003:54) bahwa latar/setting adalah seluruh
keterangan mengenai tempat(ruang), waktu, dan suasana. Latar adalah elemen
fiksi yang menunjukkan tempat dan waktu berlangsungnya cerita. Latar merupakan
unsur cerita yang penting.
Lebih
rincinya lagi menurut Keeney (dalam Sudjiman 1992:44) latar meliputi
penggambaran lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan, sampai kepada
rincian perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para
tokoh; waktu berlangsungnya kejadian; masa sejarahnya; musim terjadinya;
lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.
Hudson
membedakan latar sosial dan latar fisik. Latar sosial mencakup penggambaran
keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat, kebiasaaan,
cara hidup, bahasa, dan lain-lain. Sedangkan latar fisik adalah tempat dalam
wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya (Sudjiman, 1992: 44).
Latar mempunyai fungsi memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagimana adanya seperti yang digambarkan dalam sebuah cerpen, dan merupakan proyeksi keadaan batin para tokoh. Latar erat kaitannya dengan unsur-unsur lain, misalnya dengan penokohan. Penggambaran latar yang tepat bisa menentukan gambaran watak tokoh. Latar dengan unsur-unsur lain akan saling melengkapi supaya bisa menghasilkan cerita yang utuh.
Latar mempunyai fungsi memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagimana adanya seperti yang digambarkan dalam sebuah cerpen, dan merupakan proyeksi keadaan batin para tokoh. Latar erat kaitannya dengan unsur-unsur lain, misalnya dengan penokohan. Penggambaran latar yang tepat bisa menentukan gambaran watak tokoh. Latar dengan unsur-unsur lain akan saling melengkapi supaya bisa menghasilkan cerita yang utuh.
2.3.
Penokohan atau Perwatakan
Penokohan
merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro dalam Ristiani, 2003: 12). Penokohan dan
karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan,
yakni menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu
dalam sebuah cerita. Penokohan mencakup siapa yang menjadi tokoh cerita,
bagaimana perwatakannya, dan bagaimana pelukisannya di dalam sebuah cerita.
Dalam
cerpen jumlah tokoh tidak dibatasi hanya satu, dua, atau tiga, sebab meskipun
dalam cerpen itu tokohnya banyak, yang menjadi tokoh utamanya tidak lebih dari
dua orang. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya hanya sebagai tokoh tambahan yang berfungsi
menegaskan adanya tokoh.
2.3 Alur (Plot)
Yang
dimaksud dengan alur/plot adalah urutan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian
dalam sebuah fiksi yang disajikan kepada pembaca tidak hanya bersifat kewaktuan
tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah diperhitungkan (memiliki
hubungan kausalitas). Kejelasan suatu alur akan mempermudah pemahaman terhadap
cerita yang disajikan. Kejelasan alur/plot dapat berarti kejelasan cerita,
kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dipahami(Ristiani, 2003:41).
Adapun
tahap-tahap alur/plot secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.
1.
paparan (exposition) awal cerita
2.
rangsangan (inciting moment)
3.
gawatan (rising action)
1.
tikaian (conflict)tengah cerita
2.
rumitan (conflication)
3.
klimaks (climax)
1.
leraian (falling action)akhir cerita
2.
selesaian (denounement) (Sudjiman, 1992:30)
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah struktur penyusunan
peristiwa-peristiwa dalam cerita yang disusun secara logis. Peristiwa-peristiwa
tersebut dapat disusun dengan cara:
(1) linear atau terusan
Alur linear atau
terusan menyajikan rentetan peristiwanya susul-menyusul secara temporal (temporal
sequence) atau kronologis.
(2) sorot balik atau
falshback
Alur sorot balik menempatkan peristiwa yang berdasarkan urutan kronologis dalam alur linear merupakan peristiwa terakhir, pada awal cerita. Kemudian secara berangsur-angsur peristiwa yang mendahuluinya diperkenalkan kepada pembaca.
Alur sorot balik menempatkan peristiwa yang berdasarkan urutan kronologis dalam alur linear merupakan peristiwa terakhir, pada awal cerita. Kemudian secara berangsur-angsur peristiwa yang mendahuluinya diperkenalkan kepada pembaca.
Secara
kualitatif alur terbagi dua, yaitu alur longgar (renggang) dan alur erat
(ketat).
- Alur longgar adalah alur yang
peristiwa-peristiwanya seolah-olah berdiri sendiri sehingga apabila salah satu
peristiwanya dihilangkan tidak akan mempengaruhi keutuhan cerita.
- Alur ketat: tiap rinciannya, tiap-tiap tokoh,
lakuan dan peristiwanya merupakan bagian vital dan integral dari suatu pola
alur yang telah dirancang baik, selaras, dan seimbang (Hudson dalam Sudjiman,
1992:39), sehingga apabila salah satu rinciannya dihilangkan, cerita tersebut
tidak dapat dipahami atau rusak.
2.5
Sudut Pandang
Yang dimaksud dengan
sudut pandang (point of view) atau pusat pengisahan adalah cara pengarang
memaparkan ceritanya serta di mana ia menempatkan diri di dalam cerita.
Pengarang dapat bertindak sebagai pencerita saja dan tidak terlibat di dalam
cerita, atau ia menjadi salah satu tokoh yang ada di dalam cerita. (Fauzi,
2005: 52). Maksudnya adalah di manakah kedudukan pengarang dalam cerita yang
dikarangnya. Apakah dia merupakan salah satu tokoh dalam cerita yang berkisah
tentang dirinya sendiri atau dia berada di luar cerita, dengan menciptakan
tokoh lain dalam ceritanya. Hal ini bergantung pada keinginan dan tujuan
pengarang.
Morris (dalam Tarigan
1992:141) menjelaskan bahwa dalam menyusun ceritanya pengarang dapat
menggunakan sudut pandang sebagai berikut.
(a)
the omniscient point of view; pengarang mengetahui segala sesuatu (pikiran dan
perasaan) tokoh-tokohnya dan dapat pula melihat tingkah laku mereka dari
berbagai sudut.
(b)
the first person point of view; pengarang berada di luar cerita atau bertindak
sebagai salah seorang pelaku.
(c)
the third person point of view; pengarang berada di luar cerita atau bertindak
sebagai tukang cerita.
(d)
the central intelegence; cerita itu disajikan seperti yang terlihat melalui
mata salah saeorang pelaku, walaupun ada hubungannya dengan yang dilakukan oleh
omniscient narator.
(e)
the scenic; tukang cerita disingkirkan dan cerita itu disajikan hampir
seluruhnya dalam bentuk dialog seperti drama.
Harry Shaw (dalam sudjiman 1992:76) menyatakan bahwa pusat pengisahan dalam kesusastraan meliputi:
Harry Shaw (dalam sudjiman 1992:76) menyatakan bahwa pusat pengisahan dalam kesusastraan meliputi:
(a)
sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang
dalam pendekatan materi cerita;
(b)
Sudut pandang mental, yaitu perasan dan sikap pengarang terhadap masalah
cerita;
(c)
Sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawakan
cerita: sebagai orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga.
2.6
Gaya
Gaya
yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah gaya penuturan, bukan gaya bahasa.
Dikemukakan oleh Harry D. Fauzi (2005 : 52) bahwa gaya penuturan dapat
diartikan sebagai cara pemakaian bahasa yang spesifik atau khas oleh seorang
pengarang atau cara khas pengarang mengungkapkan gagasannya dalam cerita. Gaya
penuturan ini akan menentukan nada dan suasana dalam cerita. Oleh karena itu,
setiap pengarang mempunyai gaya bercerita yang berbeda-beda, karena gaya erat
kaitannnya dalam cara pengarang memilih tema, menyusun dan memilih kata-kata, memandang
tema, dan sebagainya.
2.7
Amanat
Amanat
menurut Panuti Sudjiman (1992:57) adalah suatu ajaran moral atau pesan yang
ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya, baik disampaikan secara
eksplisit maupun implisit. Selain itu amanat dapat pula berupa suatu jalan
keluar dari suatu persoalan yang terdapat dalam cerita. Sejalan dengan pendapat
tersebut Mursal Esten (1984:22) mengemukakan bahwa amanat adalah suatu
pemecahan dari tema yang di dalamnya merupakan pikiran dan persoalan
pengarangnya.
Kita
dapat menarik kesimpulan dari kedua pendapat di atas bahwa amanat merupakan
pandangan hidup dan cita-cita yang luhur dari seorang pengarang yang ingin
disampaikan kepada pembacanya, baik melalui pesan dan ajakan moral maupun
melalui ceritanya. Melalui ciptaannya itu pengarang berusaha membukukan dan
memberitahukan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diambil oleh pembaca sehingga
akan memberikan wawasan yang luas dan baru baginya.
3. Prinsip Dasar Analisis/Apresiasi
Cerita Pendek
Untuk
mengapresiasi cerita pendek sebagai salah satu cipta sastra, seorang apresiator
harus memiliki bekal awal. Aminuddin (1991: 38) mengemukakan empat macam yang
harus dimiliki siswa sebagi bekal awal(prasyarat) dalam menganalisis cerpen,
yaitu:
1)
kepekaan emosi atau perasan sehingga mampu memahami dan menikmati unsur-unsur
keindahan dalam cipta sastra,
2)
pemilikan pengetahuandan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan
dan msalah kemanusiaan, baik melalui penghaytan kehidupan ini maupun dengan
membaca buku yang berhubugan dengan masalah kemanusiaan,
3)
Pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan
4)
Pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang akan berhubungan
dengan telaah teori sastra.
Berbagai
cara untuk memahami karya sastra muncul seiring dengan laju perekembangan dunia
kesusastraan. Cara untuk memahami karya sastra tersebut dinamakan pendekatan.
Abrams
(dalam Teeuw, 1984:50) mengemukakan ada empat pendekatan untuk memahami karya
sastra, yaitu:
(a)
Pendekatan yang menitikberatkan pada
karya sastra itu sendiri; disebut pendekatan objektif;
(b)
Pendekatan yang menitikberatkan pada
penulis; yang disebut pendekatan ekspresif;
(c)
Pendekatan yang menitikberatkan pada
semetsa; yang disebut mimetik;
(d)
Pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca;
yang disebut pragmatik.
Dalam
pendekatan objektif, karya sastra dipandang sebagai suatu struktur yang otonom,
yang harus dipahami secara intrinsik, terlepas dari hal-hal di luar karya
sastra itu. Sementara itu dalam pendekatan ekspresif, penulis mendapat sorotan
yang khas, sebagai pencipta yang kreatif, dan jiwa pencipta itu mendapat minat
yang utama dalam penilaian dan pembahasan karya sastra. Kemudian dalam kegiatan
mimetik, aspek referensial sebagai acuan karya sastra dalam kaitannya dengan
dunia nyata mendapat sorotan utama.
Sedangkan
Aminuddin (1991:41) mengemukakan enam pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra,
yaitu:
a)
Pendekatan paraprastis, yaitu pendekatan dengan jalan mengungkapkan kembali
gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata dan kalimat
yang berbeda;
b)
Pendekatan emotif, yaitu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang
mengajuk emosi atau perasaan pembaca baik karena keindahan penyajian bentuk
maupun isi/gagasan yang lucu dan menarik;
c)
Pendekatan analitis, yaitu pendekatan yang berusaha memahami elemen intrisnsik
dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehinga membangun
keselarasan dan kesatuan.
d)
Pendekatan historis, yaitu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang
biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan, serta perkembangan
kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra dari zaman ke zaman.
e)
Pendekatan sosiopsikologis, yaitu pendekatan yang berusaha memahami latar
belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan
kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupan atau zamannya pada
saat penciptaan karya sastra.
f)
Pendekatan didaktis, yaitu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami
gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan.
Pendekatan
untuk memahami karya sastra tersebut dapat dikatakan sebagai landasan atau
prinsip dasar dalam menganalisis karya sastra.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menentukan untuk menggunakan pendekatan objektif/analitis dalam pembelajaran apresiasi cerpen di SMA kelas X. Dengan kata lain penulis akan memfasilitasi siswa dalam menganalisis cerpen-cerpen yang dijadikan bahan pembelajaran berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya. Akan tetapi dalam proses pembelajaran para siswa tidak menganalis cerpen-cerpen tersebut berdasarkan semua unsur intrinsiknya. Analisis yang dilakukan hanya terbatas pada tema, latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang, dan amanat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menentukan untuk menggunakan pendekatan objektif/analitis dalam pembelajaran apresiasi cerpen di SMA kelas X. Dengan kata lain penulis akan memfasilitasi siswa dalam menganalisis cerpen-cerpen yang dijadikan bahan pembelajaran berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya. Akan tetapi dalam proses pembelajaran para siswa tidak menganalis cerpen-cerpen tersebut berdasarkan semua unsur intrinsiknya. Analisis yang dilakukan hanya terbatas pada tema, latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang, dan amanat.
4. Kriteria Pemilihan
Bahan Cerita Pendek
Materi
Pembelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik hendanya disusun
berdasarkan kompetensi yang harus dicapai. Hal ini perlu ditekankan karena pada
dasarnya proses belajar mengajar adalah proses pencapaian kompetensi dasar yang
harus dikuasai oleh peserta didik. Oleh karena itu penentuan bahan pembelajaran
pun harus memperhatikan Tujuan Pendidikan Nasional. Dalam Sistem Pendidikan
Nasional (Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003) telah ditentukan bahwa Tujuan
Pendidikan Nasional adalah terbentuknya potensi peserta didik yang bertakwa
kepada Tuhan yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Selain
faktor tujuan, faktor kejiwaan peserta didik pun perlu diperhatikan dalam
menentukan bahan pembelajaran cerpen di SMA. Pengetahuan perkembangan kejiwaan
peserta didik pun diperlukan untuk memahami gambaran umum perkembangan jiwa
siswa SMA yang berumur antara 15-18 tahun yang sedang mengalami transisi dari
masa remaja – dewasa.
Adapun
cerita pendek yang perlu diajarkan di SMA adalah yang memenuhi kriteria sebagai
berikut.
1) Sesuai dengan falsafah pancasila;
2) Bertema kebenaran, kemanusiaan, keadilan, dan ketuhanan;
3) Mencerminkan perasaan cinta tanah air;
4) Tidak terlalu sukar untuk ditafsirkan maknanya;
5) Mengandung nilai didaktis dan estetis.
1) Sesuai dengan falsafah pancasila;
2) Bertema kebenaran, kemanusiaan, keadilan, dan ketuhanan;
3) Mencerminkan perasaan cinta tanah air;
4) Tidak terlalu sukar untuk ditafsirkan maknanya;
5) Mengandung nilai didaktis dan estetis.
C. Pendekatan
Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Pendekatan
kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dengan konsep itu hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna
bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa.
Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil(Nurhadi, 2002:1).
Dalam
kelas kontekstual, strategi belajar lebih penting daripada hasil. Tugas guru
adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak
berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola
kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru
bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru(pengetahuan dan keterampilan)
datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Begitulah peran
guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Pendekatan
CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstrutivisme (Constructivism),
menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar(Learning
Community), pemodelan (Modeling), refleksi(Reflection), dan penilaian yang
sebenarnya (Authentic Assessment. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan
CTL jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. CTL dapat
diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang
bagaimanapun keadaannya (Nurhadi, 2002:10).
Lebih
lanjut Nurhadi mengemukakan penerapan CTL dalam kelas. Secara garis besar langkah-langkahnya
sebagai berikut.
(1)
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilannnya!
(2)
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik!
(3)
Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya!
(4)
Ciptakan ‘masyarakat belajar’(belajar dalam kelompok-kelompok)!
(5)
Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran!
(6)
Lakukan refleksi dia akhir pertemuan!
(7)
Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara!
D.
Course Review Horay
Model
pembelajaran Course Review Horay merupakan model pembelajaran yang dapat
menciptakan suasana kelas menjadi meriah dan menyenangkan karena setiap siswa
yang dapat menjawab benar maka siswa tersebut diwajibkan berteriak’hore!’ atau
yel-yel lainnya yang disukai.Jadi, model pembelajaran course
review horay ini merupakan suatu model pembelajaran yang dapat digunakan guru
agar dapat tercipta suasana pembelajaran di dalam kelas yang lebih
menyenangkan. Sehingga para siswa merasa lebih tertarik. Karena dalam model
pembelajaran course review horay ini, apabila siswa dapat menjawab pertanyaan
secara benar maka siswa tersebut diwajibkan meneriakan kata “hore” ataupun
yel-yel yang disukai dan telah disepakati oleh kelompok maupun individu siswa
itu sendiri.
Model
pembelajaran course review horay juga merupakan suatu metode pembelajaran
dengan pengujian pemahaman siswa menggunakan soal dimana jawaban soal
dituliskan pada kartu atau kotak yang telah dilengkapi nomor dan untuk siswa
atau kelompok yang mendapatkan jawaban atau tanda dari jawaban yang benar
terlebih dahulu harus langsung berteriak “horay” atau menyanyikan yel-yel
kelompoknya.Jadi, dalam pelaksanaan model pembelajaran course review horay ini
pengujian pemahaman siswa dengan menggunakan kotak yang berisi nomor untuk
menuliskan jawabannya. Dan siswa yang lebih dulu mendapatkan tanda atau jawaban
yang benar harus langsung segera menyoraki kata-kata “horay” atau menyoraki
yel-yelnya.
Agar
pemahaman konsep materi yang akan dibahas dapat dikaji secara terarah maka
seiring dengan perkembangan dunia pendidikan pembelajaran Corse Review Horay
menjadi salah satu alternative sebagai pembelajaran yang mengarah pada
pemahaman konsep. Pembelajaran Course Review Horay, merupakan salah satu
pembelajaran kooperatif yaitu kegiatan belajar mengajar dengan cara
pengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil.
Pembelajaran
Course Review Horay yang dilaksanakan merupakan suatu pembelajaran dalam rangka
pengujian terhadap pemahaman konsep siswa menggunakan kotak yang diisi dengan
soal dan diberi nomor untuk menuliskan jawabannya. Siswa yang paling terdahulu
mendapatkan tanda benar langsung berteriak horay atau yel-yel lainnya. Melalui
Pembelajaran Course Review Horay diharapkan dapat melatih siswa dalam
menyelesaikan masalah dengan pembentukkan kelompok kecil.
Langkah-Langkah
Model Pembelajaran Course Review Horay
1. Guru menyampaikan
kompetensi yang ingin dicapai.
2. Guru menyajikan
atau mendemonstrasikan materi sesuai topik dengan tanya jawab
3. Guru membagi siswa
dalam kelompok-kelompok.
4.
Untuk menguji pemahaman siswa disuruh membuat kartu atau kotak sesuai dengan
kebutuhan dan diisi dengan nomor yang ditentukan guru.
5.
Guru membaca soal secara acak dan siswa menuliskan jawabannya didalam kartu
atau kotak yang nomornya disebutkan guru.
6.
Setelah pembacaan soal dan jawaban siswa telah ditulis didalam kartu atau
kotak, guru dan siswa mendiskusikan soal yang telah diberikan tadi.
7.
Bagi yang benar,siswa memberi tanda check list ( √ ) dan langsung berteriak
horay atau menyanyikan yel-yelnya.
8.
Nilai siswa dihitung dari jawaban yang benar dan yang banyak berteriak horay .
9.
Guru memberikan rewardv pada yang memperoleh nilai tinggi atau yang banyak memperoleh
horay.
10.
Penutup
Kelebihan
Model Pembelajaran Corse Review Horay
a.
Pembelajarannya menarik dan mendorong siswa untuk dapat terjun kedalamnya.
b.
Pembelajarannya tidak monoton karena diselingi sedikit hiburan sehingga suasana
tidak menegangkan.
c.
Siswa lebih semangat belajar karena suasana pembelajaran berlangsung
menyenangkan
d.
Melatih kerjasama
Kelemahan Model Pembelajaran Course Review
Horay
a.
Siswa aktif dan pasif nilainya disamakan
b.
Adanya peluang untuk curang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar