BAB II
TINJAUAN
PUSATAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Pengajaran Cerita Pendek
Pada kenyataannya
sastra telah diajarkan kepada siswa untuk seluruh jenjang pendidikan selama
ini. Namun disinyalir bahwa pembelajaran sastra belum mencapai hasil yang
optimal. Pembelajaran sastra perlu dikembangkan karena pembelajaran tersebut
didukung oleh aspek pertimbangan psikologis. Menurut Mulyana (2000:4) peserta
didik memiliki pengetahuan dan keingintahuan yang sangat besar. Dengan
pengetahuan yang dimiliki, mereka dapat memperoleh kenikmatan dan intelektual
dari sebuah karya sastra. Kebutuhan akan pencarian makna estetis dan makna
intelektual berkorelasi positif dengan kebutuhan mereka dalam mengembangkan
kematangan intelektual dan emosionalnya. Oleh karena itu, Rudy (2003:297)
menegaskan bahwa sastra dapat menjadi wahana pencarian makna apabila diajarkan
dengan benar.
Pengajaran sastra
yang baik dan benar adalah pengajaran yang mengadopsi perspektif estetik dan
memberi penekanan pada sudut pandang tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat
Rosenblatt berikut, “To teach literature correctly is to emphasize the
aesthetic stance and to de-emphasize the efferent.” (1978:22-47). Pernyataan
tersebut mengindikasikan makna yang signifikan bahwa siswa tidak hanya
mengidentifikasi apa yang tertuang dalam karya sastra seperti latar, tokoh dan
penokohan, serta alur cerita, tetapi mereka juga dapat mengidentifikasi apa
yang ada di luar karya sastra itu sendiri seperti maksud pengarang, simbolisme,
gaya cerita dan sebagainya.
Sayangnya, pengajaran
sastra di sekolah menengah lebih menekankan sudut pandang efferent; siswa hanya
menceritakan kembali kisah perjalanan tokoh cerita dengan segudang
permasalahannya. Selanjutnya, perlu dicermati dan ditelusuri perjalanan dan
kiprah pengajaran sastra di tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Rudy (2003:298) menandaskan, “Sastra telah diperlakukan secara ‘kurang adil’ di
berbagai jenjang pendidikan.” Keprihatinan Rudy muncul bersamaan dengan asumsi
yang memposisikan sastra semakin terpojokkan bahwa sastra hanya merupakan
pelajaran hafalan untuk beroleh kesenangan, bahwa sastra tidak mampu
meningkatkan kompetensi berbahasa siswa. Selain itu, banyak sastrawan yang
turut prihatin dengan ketidakmampuan siswa mengapresiasi karya sastra.
Keprihatinan tersebut
mereka atasi dengan melakukan kegiatan “Sastrawan ke Sekolah” pada tahun 2006.
Demikian halnya dengan pengajaran sastra Inggris di jurusan bahasa Inggris,
sangat diabaikan dan dihindari karena kedua asumsi di atas (Zughoul, 1986;
Rosenblatt, 1991). Kekurangadilan bagi pengajaran sastra sebagaimana
diilustrasikan oleh Moody (1977) adalah sastra menempati kedudukan yang sangat
kecil dalam pendidikan bahasa. Keberadaan sastra dalam pendidikan bahasa berdasarkan
hasil penelitian Harras (2003:303) belum menyentuh substansi dan mengusung misi
utamanya yaitu memberikan pengalaman bersastra kepada peserta didik karena
porsi pengajaran sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa. Oleh karena
itu, pengajaran sastra harus dipisahkan dari pengajaran bahasa. Pemisahan
sastra dari pembelajaran bahasa ditentang oleh Alwasilah (2002) bahwa bahasa
dan sastra bukan sebuah dikotomi. Sebagai perbandingan, ia menggambarkan bahwa
sastra berada dalam naungan bahasa (language arts) di mancanegara. Dengan
demikian, tidak ada argumentasi yang menguatkan temuan Harras bahwa sastra
harus dipisahkan dari pengajaran bahasa (Moody, 1977; Rusyana, 2003; Rudy,
2005).
Porsi pengajaran
sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa tidak harus menjadi sebuah
masalah yang mendasar. Perlu disepakati bersama bahwa permasalahan pokok dalam
pembelajaran sastra adalah “teacher as the actor, not the song.” Hal ini
tergambar dengan jelas berdasarkan beberapa temuan dan pendapat berikut: pengetahuan
guru tentang sastra sangat terbatas (Alwasilah, 1994), sastra diajarkan
guru-guru yang tidak profesional (Alwasilah, 1999), guru tidak tahu mengajarkan
sastra dengan baik (Wei, 1999) dan guru dan strategi mengajar mereka penyebab
rendahnya mutu pengajaran sastra (Mansour, 1999). Pendapat Alwasilah tentang
sastra diajarkan oleh guru-guru yang tidak profesional berseberangan dengan
temuan Rudy (2005) bahwa sastra dapat diajarkan oleh semua guru bahasa karena
komponen terpenting dalam apresiasi sastra adalah strategi mengajar dan
mengapresiasinya. Dengan demikian, kesepakatan awal tentang guru yang menjadi
masalah utama, bukan karya sastra, pun karena guru belum mengetahui cara mengajarkan
sastra dan apresiasinya.
Kualitas pengajaran
sastra sejauh ini masih sering dipertanyakan dan diragukan. Kondisi itu
diperkirakan oleh adanya kurikulum yang sering berganti-ganti dan alokasi waktu
yang dituding sebagai penyebab rendahnya kualitas pengajaran sastra.
Bertentangan dengan penafsiran tersebut, berdasarkan fakta empirik yang
ditemukan Ismail (2000:115) penyebab dari hal itu adalah metodologi pengajaran
sastra yang tidak efisien. Kondisi demikian dipertegas lagi oleh Rosidi
(1983:130) bahwa kualitas pembelajaran sastra masih sangat memprihatinkan
diindikasikan oleh pengajaran sastra yang seadanya. Penyebabnya adalah
kurikulum yang tak jelas arahnya, jumlah pengajar dan kemampuannya tidak
memadai, dan materi pengajaran yang jauh dari lengkap. Kedua sastrawan tersebut
merupakan stereotipe yang representatif mengeluhkan buruknya pengajaran bahasa
dan sastra di seluruh jenjang pendidikan.
Harapan untuk
mewujudkan pembelajaran sastra yang estetik terinspirasi dari temuan Ismail
(2000) bahwa siswa SMU di Indonesia membaca 0 (nol) karya sastra dan
termotivasi berdasarkan data empiris dalam Pikiran Rakyat (2000) bahwa
keterampilan menulis siswa Indonesia paling rendah di Asia. Kenyataan di atas
didukung oleh hasil observasi Alwasilah (1998) bahwa kaum intelektual rendah
mutunya dalam menulis. Untuk itulah sastra perlu diperkenalkan kepada siswa
sedini mungkin. Kebiasaan membaca dan mengapresiasi karya sastra dapat
menjadikan langkah awal siswa untuk gemar membaca. Ini berarti bahwa salah satu
keterampilan berbahasa mulai tumbuh dalam diri siswa. Seiring dengan
pertumbuhan kegiatan tersebut, guru dapat meneruskan kegiatan lainnya, yaitu
mengapresiasi cerita yang telah dibaca siswa.
Kegiatan
mengapresiasi dapat melibatkan kompetensi berbahasa lainnya. Setelah membaca,
guru dapat meminta siswa menuliskan kembali (meringkas) cerita dan menuliskan
pemeran cerita, karakterisasi, latar cerita. Menurut Rusyana (2003:4) menulis
merupakan salah satu kompetensi dalam pembelajaran sastra untuk beroleh
kemampuan berekspresi sastra. Ia menyebutkan menulis puisi, cerita pendek,
dialog, dongeng dan drama singkat sebagai contoh kegiatan menulis yang dapat
dilakukan siswa. Untuk mewujudkan kegiatan tersebut, guru harus menjelaskan
bagaimana melibatkan perasaan siswa terhadap tokoh cerita yang dibaca oleh
siswa dan bagaimana menghubungkan segala unsur yang ada dalam cerita dengan
kehidupan sosial, budaya, dan agama yang dianut oleh mereka.
Perspektif sosial dan
budaya dalam mengidentifikasi karya sastra dikemukakan oleh Beach dan Marshall
(1991), sedangkan perspektif religi oleh Moody (1970). Cox dan Many (1992:28)
mencontohkan Winke, 11 tahun, dapat merespons buku yang baru saja dibacanya A
Proud Taste for Scarlet and Miniver, sebuah karya besar berdasarkan kehidupan
Eleanor of Aquitaine. Winke merespons isi buku tersebut dengan cara
menceritakan kembali apa yang telah dibacanya, mengaitkan hal-hal pokok dalam
cerita sesuai dengan perasaan dan pengalamannya. Kemudian ia hubungkan cerita
itu dengan buku cerita lain yang pernah dibacanya atau film yang pernah
ditontonnya. Pada akhirnya, ia dihadapkan pada keyakinannya tentang apa yang
telah dibaca sebagai hasil membaca. Ilustrasi ini mengindikasikan bahwa
keterampilan menulis siswa dapat dikembangkan sejak kecil dengan cara merespons
karya sastra. Sejalan dengan ilustrasi tersebut, Beach (1990:74) mengungkapkan
bahwa kualitas respons siswa dapat ditingkatkan oleh guru. Respons tersebut
dapat mengembangkan kemampuan berbahasa karena para siswa menulis secara bebas,
menghubungkan respons mereka, mengaitkan tindakan mereka dengan karya yang
dibaca serta berbagi pengalaman tentang respons mereka.
Makalah ini membahas
pengajaran apresiasi sastra Indonesia dengan mengedepankan respons pembaca dan
respons simbol visual sebagai paradima baru yang mampu mengolaborasikan dua
respons yang berbeda tersebut untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor. Makalah ini juga mengelaborasi berbagai hasil penelitian tentang
respons pembaca dan respons simbol visual di seluruh tingkat pendidikan.