Selasa, 27 November 2012

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK CERITA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL SISWA KELAS X RSBI 7 SMA NEGERI I KEDIRI TAHUN 2011/2012


BAB II
TINJAUAN PUSATAKA DAN KERANGKA TEORI

A.       Pengajaran Cerita Pendek
Pada kenyataannya sastra telah diajarkan kepada siswa untuk seluruh jenjang pendidikan selama ini. Namun disinyalir bahwa pembelajaran sastra belum mencapai hasil yang optimal. Pembelajaran sastra perlu dikembangkan karena pembelajaran tersebut didukung oleh aspek pertimbangan psikologis. Menurut Mulyana (2000:4) peserta didik memiliki pengetahuan dan keingintahuan yang sangat besar. Dengan pengetahuan yang dimiliki, mereka dapat memperoleh kenikmatan dan intelektual dari sebuah karya sastra. Kebutuhan akan pencarian makna estetis dan makna intelektual berkorelasi positif dengan kebutuhan mereka dalam mengembangkan kematangan intelektual dan emosionalnya. Oleh karena itu, Rudy (2003:297) menegaskan bahwa sastra dapat menjadi wahana pencarian makna apabila diajarkan dengan benar.
Pengajaran sastra yang baik dan benar adalah pengajaran yang mengadopsi perspektif estetik dan memberi penekanan pada sudut pandang tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Rosenblatt berikut, “To teach literature correctly is to emphasize the aesthetic stance and to de-emphasize the efferent.” (1978:22-47). Pernyataan tersebut mengindikasikan makna yang signifikan bahwa siswa tidak hanya mengidentifikasi apa yang tertuang dalam karya sastra seperti latar, tokoh dan penokohan, serta alur cerita, tetapi mereka juga dapat mengidentifikasi apa yang ada di luar karya sastra itu sendiri seperti maksud pengarang, simbolisme, gaya cerita dan sebagainya.
Sayangnya, pengajaran sastra di sekolah menengah lebih menekankan sudut pandang efferent; siswa hanya menceritakan kembali kisah perjalanan tokoh cerita dengan segudang permasalahannya. Selanjutnya, perlu dicermati dan ditelusuri perjalanan dan kiprah pengajaran sastra di tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Rudy (2003:298) menandaskan, “Sastra telah diperlakukan secara ‘kurang adil’ di berbagai jenjang pendidikan.” Keprihatinan Rudy muncul bersamaan dengan asumsi yang memposisikan sastra semakin terpojokkan bahwa sastra hanya merupakan pelajaran hafalan untuk beroleh kesenangan, bahwa sastra tidak mampu meningkatkan kompetensi berbahasa siswa. Selain itu, banyak sastrawan yang turut prihatin dengan ketidakmampuan siswa mengapresiasi karya sastra.
Keprihatinan tersebut mereka atasi dengan melakukan kegiatan “Sastrawan ke Sekolah” pada tahun 2006. Demikian halnya dengan pengajaran sastra Inggris di jurusan bahasa Inggris, sangat diabaikan dan dihindari karena kedua asumsi di atas (Zughoul, 1986; Rosenblatt, 1991). Kekurangadilan bagi pengajaran sastra sebagaimana diilustrasikan oleh Moody (1977) adalah sastra menempati kedudukan yang sangat kecil dalam pendidikan bahasa. Keberadaan sastra dalam pendidikan bahasa berdasarkan hasil penelitian Harras (2003:303) belum menyentuh substansi dan mengusung misi utamanya yaitu memberikan pengalaman bersastra kepada peserta didik karena porsi pengajaran sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa. Oleh karena itu, pengajaran sastra harus dipisahkan dari pengajaran bahasa. Pemisahan sastra dari pembelajaran bahasa ditentang oleh Alwasilah (2002) bahwa bahasa dan sastra bukan sebuah dikotomi. Sebagai perbandingan, ia menggambarkan bahwa sastra berada dalam naungan bahasa (language arts) di mancanegara. Dengan demikian, tidak ada argumentasi yang menguatkan temuan Harras bahwa sastra harus dipisahkan dari pengajaran bahasa (Moody, 1977; Rusyana, 2003; Rudy, 2005).
Porsi pengajaran sastra yang lebih sedikit dibandingkan bahasa tidak harus menjadi sebuah masalah yang mendasar. Perlu disepakati bersama bahwa permasalahan pokok dalam pembelajaran sastra adalah “teacher as the actor, not the song.” Hal ini tergambar dengan jelas berdasarkan beberapa temuan dan pendapat berikut: pengetahuan guru tentang sastra sangat terbatas (Alwasilah, 1994), sastra diajarkan guru-guru yang tidak profesional (Alwasilah, 1999), guru tidak tahu mengajarkan sastra dengan baik (Wei, 1999) dan guru dan strategi mengajar mereka penyebab rendahnya mutu pengajaran sastra (Mansour, 1999). Pendapat Alwasilah tentang sastra diajarkan oleh guru-guru yang tidak profesional berseberangan dengan temuan Rudy (2005) bahwa sastra dapat diajarkan oleh semua guru bahasa karena komponen terpenting dalam apresiasi sastra adalah strategi mengajar dan mengapresiasinya. Dengan demikian, kesepakatan awal tentang guru yang menjadi masalah utama, bukan karya sastra, pun karena guru belum mengetahui cara mengajarkan sastra dan apresiasinya.
Kualitas pengajaran sastra sejauh ini masih sering dipertanyakan dan diragukan. Kondisi itu diperkirakan oleh adanya kurikulum yang sering berganti-ganti dan alokasi waktu yang dituding sebagai penyebab rendahnya kualitas pengajaran sastra. Bertentangan dengan penafsiran tersebut, berdasarkan fakta empirik yang ditemukan Ismail (2000:115) penyebab dari hal itu adalah metodologi pengajaran sastra yang tidak efisien. Kondisi demikian dipertegas lagi oleh Rosidi (1983:130) bahwa kualitas pembelajaran sastra masih sangat memprihatinkan diindikasikan oleh pengajaran sastra yang seadanya. Penyebabnya adalah kurikulum yang tak jelas arahnya, jumlah pengajar dan kemampuannya tidak memadai, dan materi pengajaran yang jauh dari lengkap. Kedua sastrawan tersebut merupakan stereotipe yang representatif mengeluhkan buruknya pengajaran bahasa dan sastra di seluruh jenjang pendidikan.
Harapan untuk mewujudkan pembelajaran sastra yang estetik terinspirasi dari temuan Ismail (2000) bahwa siswa SMU di Indonesia membaca 0 (nol) karya sastra dan termotivasi berdasarkan data empiris dalam Pikiran Rakyat (2000) bahwa keterampilan menulis siswa Indonesia paling rendah di Asia. Kenyataan di atas didukung oleh hasil observasi Alwasilah (1998) bahwa kaum intelektual rendah mutunya dalam menulis. Untuk itulah sastra perlu diperkenalkan kepada siswa sedini mungkin. Kebiasaan membaca dan mengapresiasi karya sastra dapat menjadikan langkah awal siswa untuk gemar membaca. Ini berarti bahwa salah satu keterampilan berbahasa mulai tumbuh dalam diri siswa. Seiring dengan pertumbuhan kegiatan tersebut, guru dapat meneruskan kegiatan lainnya, yaitu mengapresiasi cerita yang telah dibaca siswa.
Kegiatan mengapresiasi dapat melibatkan kompetensi berbahasa lainnya. Setelah membaca, guru dapat meminta siswa menuliskan kembali (meringkas) cerita dan menuliskan pemeran cerita, karakterisasi, latar cerita. Menurut Rusyana (2003:4) menulis merupakan salah satu kompetensi dalam pembelajaran sastra untuk beroleh kemampuan berekspresi sastra. Ia menyebutkan menulis puisi, cerita pendek, dialog, dongeng dan drama singkat sebagai contoh kegiatan menulis yang dapat dilakukan siswa. Untuk mewujudkan kegiatan tersebut, guru harus menjelaskan bagaimana melibatkan perasaan siswa terhadap tokoh cerita yang dibaca oleh siswa dan bagaimana menghubungkan segala unsur yang ada dalam cerita dengan kehidupan sosial, budaya, dan agama yang dianut oleh mereka.
Perspektif sosial dan budaya dalam mengidentifikasi karya sastra dikemukakan oleh Beach dan Marshall (1991), sedangkan perspektif religi oleh Moody (1970). Cox dan Many (1992:28) mencontohkan Winke, 11 tahun, dapat merespons buku yang baru saja dibacanya A Proud Taste for Scarlet and Miniver, sebuah karya besar berdasarkan kehidupan Eleanor of Aquitaine. Winke merespons isi buku tersebut dengan cara menceritakan kembali apa yang telah dibacanya, mengaitkan hal-hal pokok dalam cerita sesuai dengan perasaan dan pengalamannya. Kemudian ia hubungkan cerita itu dengan buku cerita lain yang pernah dibacanya atau film yang pernah ditontonnya. Pada akhirnya, ia dihadapkan pada keyakinannya tentang apa yang telah dibaca sebagai hasil membaca. Ilustrasi ini mengindikasikan bahwa keterampilan menulis siswa dapat dikembangkan sejak kecil dengan cara merespons karya sastra. Sejalan dengan ilustrasi tersebut, Beach (1990:74) mengungkapkan bahwa kualitas respons siswa dapat ditingkatkan oleh guru. Respons tersebut dapat mengembangkan kemampuan berbahasa karena para siswa menulis secara bebas, menghubungkan respons mereka, mengaitkan tindakan mereka dengan karya yang dibaca serta berbagi pengalaman tentang respons mereka.
Makalah ini membahas pengajaran apresiasi sastra Indonesia dengan mengedepankan respons pembaca dan respons simbol visual sebagai paradima baru yang mampu mengolaborasikan dua respons yang berbeda tersebut untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Makalah ini juga mengelaborasi berbagai hasil penelitian tentang respons pembaca dan respons simbol visual di seluruh tingkat pendidikan.

PUTRI CHELSEA Part 8

  Sekarang   Beatrice sedang dirumah sendirian, karena nenek masih dipasar perkotaan untuk membeli sesuatu. Beatrice adalah nama samaran put...